Nyanyian "Sumbang" Century

Dari kacamata motif ekonomi- politik dan korupsi, fenomena ini dapat dijelaskan dengan terma ”pembajakan negara”. Secara sederhana, penggunaan sarana negara bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk pembiayaan politik dan keuntungan mafia bisnis, ini pembajakan negara.

I KOMPAS, rabu 2 Desember 2009 I

Badan Pemeriksa Keuangan telah menyerahkan hasil audit investigatif Bank Century kepada DPR, Jumat (20/11). Kita meraba ada banyak keganjilan dan dugaan korupsi.

Jika ditemukan penyimpangan dan aliran dana politik, kasus ini bisa menjatuhkan kekuasaan korup. Atau sebaliknya. Ia pun berpotensi disalahgunakan menjadi sekadar posisi tawar politik yang juga tak kalah korup.

Kedua kemungkinan itu perlu sama-sama dicermati, termasuk kompleksitas skandal hukum, mafia peradilan, dan corruptor fight back terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang menemukan titik kritis belakangan ini. Tepatnya, terjadi dugaan rekayasa proses hukum dan kriminalisasi saat KPK mengusut skandal Bank Century dari kacamata pidana korupsi.

”Centurygate”

Penggunaan istilah gate di belakang Century mulai luas dilakukan. Membaca penggunaan gate, dari ”Watergate” di AS yang berujung turunnya Presiden Nixon (8/8/1974) hingga ”Buloggate” yang berujung jatuhnya seorang Presiden RI, memberi nuansa tersendiri dalam kasus ini. Namun, kita berharap, terma gate dapat menjadi simbol keseriusan pengusutan sejumlah kejanggalan dan permainan mafia di balik skandal Bank Century.

Dari aspek politik, mekanisme hak angket mulai bergulir dan sudah disetujui DPR. Meski sulit berharap banyak, proses ini patut dituntaskan. Demikian juga dengan KPK yang telah melakukan penyelidikan (6/2009).

Alasan paling sederhana di balik penuntasan ”Centurygate” adalah, kita tidak ingin fungsi dan keuangan negara dibajak kepentingan mafia. Titik kritis pengusutan korupsi dapat dilakukan dari kategorisasi dugaan pelanggaran Century dalam tiga logika.

Pertama, kejanggalan pembentukan Bank Century. Kedua, perkembangan status Bank Century yang dapat dipahami sebagai peringatan awal kemungkinan membebani keuangan negara dan merugikan publik.

Pada dua poin ini, kita bicara praktik mafia perbankan. Hal ini potensial memberi ruang kejahatan lain, seperti pencucian uang dan dana-dana yang sulit dipertanggungjawabkan secara hukum. Sepatutnya PPATK punya sarana dan kewenangan untuk meneropong fase ini.

Ketiga, kemungkinan desain kebijakan yang disusun untuk membenarkan pelanggaran. Kita perlu cermat melihat fenomena revisi peraturan Bank Indonesia yang dinilai melancarkan pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek dan penyertaan modal sementara. Sejumlah rapat dewan gubernur dan surat menyurat akan menjadi pintu untuk mencari aktor utama yang ngotot Century dibantu.

Dari titik ini, kita bisa paham, mengapa pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) perlu menyuntik dana Rp 6,7 triliun. Masyarakat tentu sulit percaya jika Bank Century tidak dibantu, akan berakibat sistemik. Apalagi, audit BPK meragukan penilaian itu. Bahkan, PPATK punya catatan rekening mencurigakan terkait Bank Century.

Dari kacamata motif ekonomi- politik dan korupsi, fenomena ini dapat dijelaskan dengan terma ”pembajakan negara”. Secara sederhana, penggunaan sarana negara bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk pembiayaan politik dan keuntungan mafia bisnis, ini pembajakan negara.

Sandera politik

Jika saja state capture itu benar, agaknya kita bisa meramalkan nasib pihak yang ada di balik ”Centurygate”. Namun, kita berharap, teori itu hanya kekhawatiran berlebihan.

Di tengah kegeraman dan kecurigaan publik, skandal Century harus dituntaskan. Ini bukan hanya untuk menemukan ada-tidaknya korupsi dan persekongkolan jahat, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas pemerintah, terutama terkait informasi dana kampanye, pencucian uang, dan kabar penalangan kontroversial yang beredar di masyarakat.

Penyelesaian kasus ini tak boleh mengambang seperti banyak kasus sebelumnya. Ketidakjelasan penyelesaian akan menyandera pemerintah selamanya. Lihat saja megaskandal BLBI yang hingga kini dimasalahkan. Dan itu lekat di ingatan publik.

Sejumlah informasi kontroversial sudah beredar. Meski berulang kali dibantah, masyarakat tidak mudah percaya karena selama ini semua koruptor selalu membantah melakukan korupsi.

Demikian juga dengan hak angket. Masyarakat pasti tidak ingin angket ”Centurygate” hanya berakhir dengan posisi tawar politik koruptif. Apalagi, sejarah hak angket di DPR 2004 hampir cenderung gagal. Kita tak pernah tahu, konsesi apa yang didapatkan para pendukung hak angket dari kekuasaan atau mafia bisnis. Lihat saja angket BLBI yang kandas dalam proses lobi (Kompas, 11/6/2008). Begitu pula upaya mengungkap kasus Adaro, Lapindo, DPT, BBM, dan lainnya. Bukan tidak mungkin, sebuah hak angket dapat disulap menjadi ”ATM politik”.

Dengan demikian, bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemungkinan tak tuntasnya pengungkapan ”Centurygate” akan merugikan kredibilitas dan posisi politiknya. Jika KPK didukung mengusut, setidaknya SBY bisa paham, siapa ”koruptor dalam selimut” yang selama ini bersarang di lingkaran negara. Sebaliknya, jika angket tuntas dan tak dijegal, diperkirakan SBY dan partainya tak akan tersandera politik jangka panjang, Meski, seperti nyanyian, harus diakui ada banyak nada sumbang dalam kasus ini.

Namun, nyanyian tak merdu ini sudah lama terdengar. Agar tidak menimbulkan kegaduhan publik, orkestra Century harus dibenahi, secara politik dengan penuntasan hak angket dan secara hukum dengan pengusutan dugaan korupsi oleh KPK.

*Febri Diansyah

Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

URL: klik disini

Industri Kekuasaan Politik

kutip

…tak berlebihan jika proses pemilihan presiden 2009 yang sedang berjalan ini dinilai lebih mengarah pada pengertian ”industri kekuasaan”. Dimana, proses politik yang terjadi hanya ditempatkan sebagai tahapan layaknya industri atau perusahaan, untuk mendapatkan hasil berupa kekuasaan dan legitimasi publik.


ikan-uang1Debat calon presiden yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum terkesan hambar (18/6). Tidak banyak isu krusial bisa ditelisik lebih dalam.

Khusus untuk pemberantasan korupsi dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang mengemuka justru kesan kurang pahamnya calon. Pesan sederhana dari semua jawaban adalah pemberantasan korupsi tidak ditempatkan sebagai prioritas. Kalaupun dicantumkan dalam visi-misi, ia tidak lebih sekadar sebagai politik klaim. Padahal, akar masalah bangsa ini terletak pada apa yang disebut Mochtar Lubis sebagai roots of all evil.

Korupsi

Capres nomor urut satu, misalnya, pada kesempatan lain menggunakan sejumlah produk hukum yang lahir pada era pemerintahannya sebagai basis argumentasi. Meski, UU Komisi Yudisial, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan keppres pembentukan pengadilan Tipikor ditandatanganinya pada Juli 2004. Namun, komitmen pemberantasan korupsi tentu jauh lebih besar daripada sebuah tanda tangan.

Demikian juga pasangan incumbent SBY-JK yang pada Pilpres 2009 ini berjalan terpisah. Klaim bahwa pemberantasan korupsi berhasil pada era presiden dari Partai Demokrat ini tentu kurang tepat jika yang digunakan adalah prestasi KPK. Sebab, posisi ketatanegaraan KPK yang independen jelas dicantumkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Hampir tidak ada ”tangan” presiden atau wakil presiden dalam kinerja komisi antikorupsi itu karena institusi ini diharapkan dapat memberantas korupsi dalam kondisi politik apa pun. ”Siapa pun presidennya, KPK harus tetap jalan,” kurang lebih demikian tagline-nya.

Kalaupun evaluasi pemberantasan korupsi dilakukan untuk pemerintahan SBY-JK, yang harus dilihat adalah kinerja kejaksaan dan kepolisian. Termasuk upaya pembenahan birokrasi melalui Inpres No 5/2004, Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009, dan kinerja Timtas Tipikor yang dipimpin langsung SBY. Dari aspek legislasi, ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada 2006 juga menjadi catatan tambahan.

Lantas, apakah itu berarti pemberantasan korupsi era 2004-2009 berhasil? Tunggu dulu. Kriteria dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi Indonesia harus melihat pada kondisi korupsi itu sendiri. Misal, perkembangan korupsi yang mengarah pembajakan fungsi negara menggunakan kekuatan politik-bisnis (state capture).

Varian potret ini terwujud pada kebijakan yang memberi keuntungan tidak pantas pada pebisnis tertentu, potensi konflik kepentingan bisnis keluarga, terhambatnya proses hukum jika pelaku berasal dari partai tertentu, gelap dana kampanye, diskriminasi kebijakan, dana stimulus, dan kebijakan insentif pajak untuk perusahaan tertentu, proteksi saham, dan lainnya. Apakah dari komunikasi politik capres dapat terbaca adanya program antikorupsi yang minimal telah memetakan secara serius keadaan korupsi itu? Tentu, belum.

Karena itu, sebelum pemilihan presiden dilakukan pada 8 Juli mendatang, masyarakat berhak mengetahui fenomena di balik gegap gempita klaim dan janji politik. Sejumlah data tentang rekam jejak komitmen antikorupsi tiap pasangan calon seharusnya dapat menjadi acuan.

Pada tahun 2002, misalnya, sulit melupakan pemberian release and discharge terhadap lima obligor kakap BLBI. Sjamsul Nursalim merupakan salah satu obligor yang ”dimaafkan” saat itu. Kebijakan ini kurang lebih berarti sama dengan ”pemutihan” megaskandal BLBI. Padahal, tahun lalu terbukti, di balik proses penghentian kasus korupsi Sjamsul Nursalim itu ada suap 660.000 dollar AS terhadap seorang jaksa di Kejaksaan Agung.

Dalam upaya membaca korupsi sebagai gejala dari konsepsi oligarki politik dan bisnis, kasus ini merupakan cermin yang amat penting.

Selain merugikan keuangan negara dalam jumlah besar, adanya indikasi persekongkolan sejumlah elite mulai dari lingkaran utama eksekutif pun amat jelas. Bahkan, ”pembenaran” hukum oleh sejumlah oknum petinggi Kejaksaan Agung juga terjadi.

Dengan kata lain, peta aktor di balik kasus ini mencakupi wilayah-wilayah strategis seperti puncak eksekutif, legislatif, penegak hukum, dan imperium bisnis. Masa depan kasus BLBI ini diperparah saat alih-alih menguatkan proses hukum, presiden era berikutnya justru menerima beberapa obligor di Istana.

Varian lain adalah ketertutupan dana kampanye partai politik dan tim calon presiden. Tesis yang ingin dibangun, tidak pantas seorang calon pemimpin bicara pemberantasan korupsi jika belum mampu membuka sumber dana politik yang mereka terima. Bagian ini punya titik penting berbeda daripada kasus BLBI. Analisisnya terletak pada saling korelasi pelaku bisnis selaku penyumbang dana dengan calon presiden.

Hubungan saling tergantung dua pihak ini menjadi amat riskan disimpangi ketika itu dilakukan secara tertutup. Bukan tak mungkin kewenangan dan posisi sentral presiden nantinya dibajak kepentingan pihak penyumbang dana (pelaku bisnis) melalui kebijakan yang diterbitkan atas nama rakyat.

Di sinilah konsepsi rent-seeking behaviour menemukan relevansinya. Saat itu, Gordon Tullock (1967) mewanti-wanti perilaku pemburu rente dari sudut pandang analisis ekonomi-politik, bahwa ia dilihat sebagai pelaku bisnis yang memengaruhi kebijakan negara, memanfaatkan, dan merekayasanya demi kepentingan akumulasi keuntungan bisnis. Sejumlah kasus korupsi anggota DPR yang diproses KPK membuktikan, kelompok seperti ini nyata dan eksis.

Dua contoh itu dan potret rent-seeking dinilai lebih penting menjadi prioritas pasangan capres 2009. Ditambah, upaya untuk memperkuat KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor sebagai infrastruktur yang dapat memangkas lebih dalam akar korupsi. Namun sayang, belum ada tanda-tanda munculnya konsep pemerintahan ke depan yang mengacu pada deskripsi itu.

Karena itu, tak berlebihan jika proses pemilihan presiden 2009 yang sedang berjalan ini dinilai lebih mengarah pada pengertian ”industri kekuasaan”. Dimana, proses politik yang terjadi hanya ditempatkan sebagai tahapan layaknya industri atau perusahaan, untuk mendapatkan hasil berupa kekuasaan dan legitimasi publik.

Akhirnya, kekuasaan itu digunakan untuk memperkuat basis perolehan keuntungan oleh kelompok tertentu. Kesimpulan ini boleh jadi salah jika dalam proses berikutnya mulai dilakukan perubahan penting dalam tawaran kebijakan pasangan calon presiden. Mungkinkah?

Febri Diansyah, Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

4 Juli 2009

URL: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/04/04502148/industri.kekuasaan.politik

"Bola Liar" Vonis Aulia Pohan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya menjatuhkan vonis bersalah terhadap Aulia Tantowi Pohan dan tiga terdakwa kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia Rp 100 miliar (17/6). Penjara empat tahun enam bulan dan denda Rp 200 juta yang dijatuhkan hakim bahkan lebih tinggi daripada tuntutan jaksa KPK.

Hukuman ini memang tidak begitu keras bila dibandingkan dengan ancaman maksimal undang-undang yang mencapai 20 tahun. Tetapi, agaknya, ketegasan Pengadilan Tipikor menghukum seseorang meskipun dia kerabat dekat presiden, tetap bernilai penting bagi masyarakat. Setidaknya, satu ujian kecil independensi KPK dan Pengadilan Tipikor terlewati.

Namun, kasus ini baru memasuki tingkatan lanjut sehingga tidak boleh selesai hanya pada vonis Aulia Pohan. KPK dilarang “menutup mata” terhadap sejumlah fakta yang muncul di persidangan. Masyarakat telah mencatat sejumlah indikasi keterlibatan 52 anggota DPR, aliran dana kepada oknum kejaksaan dan pengadilan, serta dugaan keterlibatan salah seorang mantan dewan gubernur lain. Jika KPK tidak menganggap itu penting, kasus ini justru dapat menjadi “nila” yang merusak prestasi dan nama baik KPK dalam pemberantasan korupsi.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa vonis bersalah Aulia Pohan akan menjadi “bola liar” yang bisa mengejar balik KPK, mengacaukan ritme kampanye pemilihan presiden, dan bahkan serangan balik terhadap Pengadilan Tipikor. Karena itulah, KPK harus mengambil peran lebih banyak untuk mengontrol dan meminimalkan serangan balik pascaputusan terhadap Aulia Pohan. Cara paling efektif adalah menuntaskan aktor korupsi dalam skandal bank sentral itu.

Menurut catatan ICW, hingga saat ini baru tiga anggota DPR yang dijerat KPK, padahal fakta persidangan mengungkap 52 nama. Diperkirakan setidaknya Rp 31,5 miliar dari Rp 100 miliar dana BI mengalir ke sejumlah anggota DPR komisi perbankan. Dengan demikian, tidak adil, diskriminatif, dan tebang pilih jika pelaku lain tidak dijerat hanya karena mereka sedang duduk sebagai pejabat eksekutif aktif di kabinet. Seperti diketahui, niat di balik penyaluran dana ke DPR semuanya menjadi fakta. Mulai kehendak “menyelesaikan” korupsi BLBI secara politis atau di luar mekanisme hukum pidana, dan amandemen UU Bank Indonesia.

Memang agak sulit membuktikan anggota DPR dan oknum penegak hukum lain yang menerima aliran dana tersebut. Tetapi, dengan kewenangan KPK yang sangat besar, catatan serah terima uang, keterangan saksi “mahkota” dari anggota DPR yang mengungkap aliran dana ke Senayan, dan fakta persidangan, KPK diyakini mampu mematangkan kasus ini lebih maksimal. Apalagi, sekarang empat pimpinan KPK dinilai relatif tidak punya hambatan “struktural” pasca ketua KPK nonaktif tidak lagi berpengaruh di komisi ini.

Konstruksi Korupsi

Bagian ini penting untuk melihat gambaran lebih besar dari kasus aliran dana BI sekaligus memetakan prioritas penegakan hukum yang dapat dilakukan KPK.

Kasus korupsi Bank Indonesia (BI) sesungguhnya dapat diserderhanakan menjadi dua level. Pertama, tahap kebijakan. Level ini berbicara tentang desain pengusulan, persetujuan, dan kesepakatan pengalokasian dana BI – YPPI Rp 100 miliar. Tujuan penyusunan kebijakan telah terungkap di persidangan. Bahwa hal itu sangat terkait dengan penyelesaian kasus hukum mantan petinggi BI dan amandemen UU BI.

Aktor yang terlibat pada kelompok ini berposisi sebagai pengambil kebijakan tertinggi di bank sentral. Potret tersebut bahkan ditegaskan pada putusan Pengadilan Tipikor untuk kasus mantan gubernur BI, Burhanuddin Abdullah. Hakim saat itu yakin kebijakan alokasi dana BI ke YLPPI sejumlah Rp 100 miliar memang melanggar sejumlah aturan perundang-undangan. Bahkan, salah seorang saksi kunci menyebutkan, dana tersebut memang diniatkan untuk menyuap.

Level kedua berada di tahap operasional. Tepatnya, sisi korupsi dari sudut pandang penerima dana. Berdasarkan fakta persidangan, setidaknya dana tersebut mengalir pada 52 anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004; oknum di Kejaksaan Agung, dan sejumlah advokat. Asal muasal skandal ini tidak terpisahkan dari upaya menyelamatkan sejumlah mantan petinggi BI dari jerat hukum megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Mencermati konstruksi tersebut, mudah dipahami bahwa vonis terhadap Aulia Pohan dan tiga tersangka lain bukan akhir skandal bank sentral ini. Terdapat sejumlah aktor penting yang tidak boleh “dilepaskan” KPK. Ini terutama mereka yang sekarang duduk sebagai penyelenggara negara.

Berangkat dari karakter korupsi yang lekat dengan kekuasaan, pemilihan aktor yang paling dekat dengan kekuasaan merupakan indikator mutlak yang perlu dilakukan KPK. Potensi pelaku melakukan “kesalahan” yang sama dan kembali menyahgunakan kewenangan di jabatan saat ini juga harus dipertimbangkan.

Dari sejumlah aktor yang ada di DPR, kursi kabinet, dan penegak hukum, agaknya KPK dapat mulai dari wilayah pertama. Dua mantan anggota DPR periode 1999-2004 yang saat ini menjadi bagian dari Kabinet Presiden SBY layaknya menjadi prioritas setelah Aulia Pohan divonis bersalah. Jika tidak, tentu kekuasaan yang dipegangnya berpotensi disalahgunakan untuk terus menghambat proses hukum terhadap mereka. Dan, sebagai atasan para menteri, Presiden SBY mempunyai kewajiban memastikan tidak melindungi dua bawahannya tersebut.

Pemilihan strategi ini selayaknya ditegaskan KPK. Langkah hukum untuk mengembangkan perkara dan menetapkan tersangka baru dalam kasus aliran dana BI ini sangat dinanti publik. “Bola liar” pascavonis Aulia Pohan seharusnya dikelola dengan baik oleh empat pimpinan komisi yang tersisa, sehingga tidak berbalik arah. (*)

Febri Diansyah , Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW, Jakarta.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Juni 2009

IZIN PRESIDEN

Izin Presiden untuk melakukan Pemanggilan, Pemeriksaan dan Penahanan Tersangka Kasus Korupsi untuk Pejabat Daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota, dan anggota DPR/DPD/DPRD tidak lagi menjadi hal yang mutlak.

 

  1. Anggota DPR/DPD/DPRD yang diduga melakukan korupsi, dapat langsung diproses Penegak Hukum tanpa perlu izin Presiden. Meskipun kasus korupsi mungkin terjadi sebelum dia menjabat sebagai anggota legislatif.
  2. Pejabat Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dapat diperiksa dan ditahan tanpa izin Presiden jika setelah 60 hari SEJAK DIAJUKAN izin tidak keluar. Titik tekan MA disini adalah, sejak pengajuan Izin oleh instansi Penegak Hukum.

 

corruption_who_cares_cover2Silahkan download disini, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09/2009

klik: SEMA Izin Presiden Kasus Korupsi

atau di URL Web Mahkamah Agung

http://www.mahkamahagung.go.id/fileyur/sema_090001.pdf

Isinya sama saja, sengaja saya attach juga di blog ini, karena pengalamannya file dari Web MA kadang sulit diakses.

Semoga bermanfaat untuk advokasi pemberantasan korupsi.

 

Salam,

Febri Diansyah

Menanti Perppu Pengadilan Tipikor

“…Apakah ada pembajakan dan inkonsistensi? Jika ya, perlu ada kampanye untuk mengimbau masyarakat agar pada Pemilu 2009 tidak memilih parpol yang tidak konsisten mendukung pembentukan Pengadilan Tipikor. Sebab, itu berarti mereka tidak mendukung pemberantasan korupsi, hendak melindungi diri dari jerat penegakan hukum, sehingga bebas melakukan perbuatan korup….”

Dimuat Jawa Pos, Rabu 11 Februari 2009

Jangka waktu membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang di-deadline Mahkamah Konstitusi (MK) makin sempit. Berdasar putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, MK meminta pemerintah dan DPR segera memperkuat basis konstitusional pemberantasan korupsi melalui pembentukan UU Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.

Bagian yang harus dipahami secara afirmatif, MK sebenarnya menegaskan, pengadilan khusus korupsi sangat dibutuhkan dan konstitusional jika dibentuk dengan UU tersendiri. Bukan sebaliknya.

Karena itu, semangat untuk membubarkan Pengadilan Tipikor dan mengembalikan proses pada pengadilan umum bertentangan dengan putusan MK. Karena MK adalah lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi dan putusan merupakan penjelasan serta penegasan lebih dalam dari konstitusi, ketidakpatuhan terhadap putusan MK sekaligus merupakan bentuk perlawanan terhadap konstitusi/UUD 1945.

Harapan masyarakat terhadap Pengadilan Tipikor tidak lepas dari kekecewaan pada pengadilan umum. Tingkat putusan bebas/lepas dari tahun ke tahun sangat tinggi. Bahkan, rata-rata vonis yang dijatuhkan relatif rendah. Mulai 2005-2008, terdakwa kasus korupsi yang terpantau berjumlah 1.421. Lebih dari 600 di antaranya divonis bebas/lepas. Bahkan, sekitar 300 terdakwa hanya dijatuhi vonis di bawah dua tahun.

Fenomena itu tentu mengakibatkan rendahnya deterrence effect (efek jera) pemberantasan korupsi. Dalam jangka panjang, hal tersebut akan menegaskan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya pengadilan umum.

Dalam konteks pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan sudah merasuki hampir semua sendi kehidupan bangsa, upaya khusus dan luar biasa merupakan hal mutlak yang harus dilakukan.

Keberhasilan KPK menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan memberikan vonis yang lebih punya efek jera melalui Pengadilan Tipikor sudah cukup baik menjadi dasar argumentasi bahwa Indonesia membutuhkan pengadilan khusus korupsi.

Komitmen Parpol

Belum tuntasnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor tidak semata disebabkan persoalan tidak adanya komitmen DPR. Secara lebih luas, kondisi itu terkait dengan parpol di DPR. Komitmen sejumlah parpol diragukan dalam pemberantasan korupsi, khususnya menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.

Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari masing-masing pimpinan parpol bahwa mereka mendukung keberadaaan Pengadilan Tipikor. Publik juga tidak mengetahui ada atau tidaknya instruksi dari parpol untuk mempercepat pembahasan UU.

Hanya, pimpinan parpol terkesan membiarkan dan lepas tanggung jawab pembahasan yang tanpa kepastian itu. Bahkan lebih jauh, sadar ataupun tidak, tindakan ”diam” tersebut cenderung bisa dipahami sebagai bagian upaya pembubaran Pengadilan Tipikor.

Sejumlah fungsionaris partai politik di DPR sebenarnya telah menyatakan akan berkomitmen menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor sebelum pemilu legislatif. Ketua DPR sendiri yang berasal dari Fraksi Golkar menyampaikan janji tersebut secara terbuka. Anggota DPR dari Fraksi PDIP pun demikian. PKS juga selalu mengklaim diri bersih dan antikorupsi.

Karena Presiden SBY berasal dari Partai Demokrat, seharusnya komitmen dan iklan pemberantasan korupsi yang setiap hari ditayangkan memperlihatkan konsistensinya. Jangan sampai iklan tersebut menjadi kebohongan publik.

Misalnya, di satu sisi menyatakan berkomitmen dengan pemberantasan korupsi, di sisi lain tidak serius atau bahkan menghambat pembentukan UU Pengadilan Tipikor.

Di sinilah komitmen, kejujuran, dan konsistensi partai politik diuji. Jika tiga partai di atas saja sudah berkomitmen utuh, tentu seharusnya UU Pengadilan Tipikor bisa selesai. Kursi Golkar 127, PDIP 109, Demokrat 56, dan PKS 45. Totalnya, ada 337 kursi. Atau, lebih dari separo anggota DPR yang total berjumlah 550 orang.

Tentu partai lain juga pernah menyatakan bahwa mereka bagian dari pemberantasan korupsi. Tapi, mengapa pembahasan RUU masih molor dengan agenda yang tidak jelas sehingga sulit dipercaya bisa selesai efektif sebelum pemilu?

Apakah ada pembajakan dan inkonsistensi? Jika ya, perlu ada kampanye untuk mengimbau masyarakat agar pada Pemilu 2009 tidak memilih parpol yang tidak konsisten mendukung pembentukan Pengadilan Tipikor. Sebab, itu berarti mereka tidak mendukung pemberantasan korupsi, hendak melindungi diri dari jerat penegakan hukum, sehingga bebas melakukan perbuatan korup.

Darurat Korupsi

Masa sidang DPR III saat ini berakhir paling lambat 6 Maret 2009. Artinya, waktu yang tersisa sekitar 26 hari, kemudian memasuki masa reses dan masa sidang terakhir setelah pemilu legislatif pada 27 April 2009. Padahal, saat ini seperti yang disampaikan ketua Pansus RUU, belum ada satu pun fraksi yang menyetorkan DIM. Bahkan, proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) belum selesai dilakukan. Dengan demikian, secara logis RUU tidak mungkin selesai sebelum pemilu.

Pada sisi lain, saya khawatir proses RDPU yang dilakukan pansus meruapakan upaya mengulur-ulur waktu sehingga anggota pansus bisa memprioritaskan kepentingannya untuk persiapan Pemilu Legislatif 2009.

Pembahasan RUU dalam DPR periode 2009-2014 pun lebih tidak menjanjikan. Sebab, proses pengajuan Prolegnas dan RUU Prioritas harus dimulai dari awal lagi. Padahal, DPR 2009 baru efektif bertugas sekitar September-Oktober. Artinya, tinggal 2-3 bulan menjelang deadline yang diberikan MK.

Jadi, secara nyata terlihat pemberantasan korupsi sudah berada di ujung tanduk. Belum lagi, memperhitungkan pembentukan pengadilan yang minimal menghabiskan waktu enam bulan.

Karena itu, tidak ada alternatif lain kecuali pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) Pengadilan Tipikor.

oleh: Febri Diansyah

Putusan Kasasi ADELIN LIS

Saya baru mendapatkan, dari seorang teman, soft copy Putusan Kasasi Adelin Lis di Mahkamah Agung.

Putusan Nomor: 68K/PID.SUS/2008

Saya pikir, meskipun bukan tanpa catatan kritis, para majelis hakim MA yang memutus kasus ini patut diapresiasi. Setidaknya dari yang saya baca sepintas, beberapa norma baru dan penegasan-penegasan yuridis jika terus didorong dan dikembangkan akan bernilai penting untuk advokasi kasus-kasus pembalakan liar.

Ternyata, MA mengatakan kasus illegal logging yang semula dikira hanya dapat dijerat dengan UU Kehutanan, juga dapat dijerat dengan UU Anti Korupsi.

Dalil itu sesuai dengan salah satu hasil rakernas MA tahun 2006 dan satu terminologi sederhana dalam hukum “concursus idealis”.

Untuk KPK, tentu putusan ini patut dibaca secara cermat. Agar paradigma berpikir KPK tenttang Korupsi tidak terkukung sekedar dalam ter Suap, Gratifikasi, Feed Back, pengadaan barang dan jasa, dan korupsi konvensional lainnya.

———–

Tulisan terkait:

  1. Alternatif Konstruksi Hukum Menjerat Illegal Logging dengan Korupsi
  2. Terobosan Hukum Menjerat Pembalak Liar
  3. Mengadili Pembalak Liar

————

 

silahkan download PUTUSAN:

Putusan KASASI ADELIN LIS Nomor: 68 K/PID.SUS/2008

Incredible Justice

Sebuah kisah diangkat dalam satu skenario berjudul “Incredible Justice“. Kronik terselubung peradilan Amerika Serikat (AS) dipertontonkan ketika kekuatan politisi anggota Kongres mencoba mempengaruhi calon kuat Hakim Agung Supreme Court AS.

Di Indonesia, kisah film layar lebar ini mendapat konteks yang sempurna. Setelah dinilai sebagai Peradilan Terburuk se-Asia versi PERC 2008, kekuatan-kekuatan diluar sektor Yudisial pun semakin mengukuhkan segala sisi gelap Kekuasaan Kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung (MA). Salah satu cara cukup jitu adalah mempertahankan kelompok-kelompok tertentu di puncak institusional MA.

harifin-tumbang-1Meskipun dengan varian yang sedikit berbeda, pengesahan revisi kedua Undang-undang MA adalah satu contoh. Elit Politik mencoba mempertahankan kelompok elit status quo yang agaknya dinilai pernah “berjasa” terkait  kepentingan politik partisan.

Dari aspek institusional, MA didisain lebih tak tersentuh. Kewenangan konstitusional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit Biaya Perkara tetap dihambat dengan pensiasatan redaksional yang halus. Lihat saja Pasal 81A UU MA tersebut. Objek kewenangan audit ternyata hanya “biaya kepaniteraan”, sedangkan “biaya perkara” tetap terselamatkan. Padahal, setidaknya ICW mencatat Rp. 31,12 Miliar biaya perkara tahun 2005-maret 2008 tidak jelas pengelolaannya di MA.

Politik transaksional inilah yang relevan dengan skenario diatas. Seorang Hakim Negara Bagian yang dipromosikan Gedung Putih kemudian didekati oleh Politisi anggota Kongres AS. Track Record atau Rekam Jejak hakim dipelajari, dan bahkan disusun satu rekayasa skandal untuk menjerat sang Hakim. Tujuannya sederhana, Hakim Supreme Court tersebut nantinya bisa diatur. Sehingga, semua sengketa dan konflik, baik di bidang politik, sengketa perdata, ataupun pidana korupsi yang melibatkan klik si Politisi, “bisa diatur”. Belakangan terungkap, ternyata si politisi telah “mengantongi” nama dan kesetiaan sebagian besar Hakim Agung.

Di Indonesia, tidak hanya perorangan yang dapat “dikontrol”, akan tetapi disain institusional dikondisikan sedemikian rupa melalui kebijakan dan aturan hukum. Di negara inilah para politisi bisa mempengaruhi hukum atau bahkan menunggangi penegakan hukum.

Atau, ditataran implementatif, implikasi kontrol politisi terhadap kekuasaan yudisial terlihat dalam trend makro putusan bebas kasus korupsi di Pengadilan Umum Indonesia. Dalam banyak warna, Politisi seolah-olah berada diatas hukum. Hampir tidak tersentuh.

Seperti pemantauan rutin yang dicermati ICW, misalnya. Dari 1421 terdakwa kasus korupsi di pengadilan umum selama tahun 2005-2008, ditemukan catatan yang menyedihkan. Trend vonis bebas untuk kasus korupsi terus menigkat dari tahun ke tahun.Dari hanya 22,22% vonis bebas di tahun 2005, meningkat jadi 62,38% di tahun 2008. Total terdakwa korupsi yang divonis bebas lebih dari 650 orang, dan vonis dibawah dua tahun sekitar 291 terdakwa. Dengan demikian, sesungguhnya Pengadilan Umum sedang memberikan “hadiah” dan menyelamatkan hampir seribu orang atau pejabat yang diduga telah menghisap darah rakyatnya sendiri.

Bahkan, khusus di tahun 2008 Mahkamah Agung berperan paling besar dalam vonis bebas kasus korupsi. Sekitar 121 terdakwa dibebaskan dari tuduhan korupsi dari total 277 yang dibebaskan di tahun 2008. Dititik inilah, tidak berlebihan kiranya jika publik menangkap kesan, pengadilan umum yang berpuncak pada MA sebagai “surga” bagi koruptor.

Dari aspek aktor atau pelaku korupsi, dapat dipahami di pengadilan umum sedang terjadi sebuah degradasi dan krisis independensi kekuasaan kehakiman yang berkelindan dengan mafia peradilan. Membaca undang-undang dan teori anti korupsi, tentu bisa dilihat, aktor yang paling mungkin menjadi pelaku korupsi adalah pejabat publik, PNS, ataupun pihak yang mempunyai kewenangan politik. Sebagian besar justru berafiliasi dengan partai politik, atau secara terselubung minimal mempunyai dukungan politisi. Tidakkah cukup terang bukti “perselingkuhan” politisi dan kekuasaan yudisial? Mungkin, ya atau sebaliknya.

Neraka bagi Koruptor

Data yang menunjukkan sebagian besar kasus korupsi berakhir dengan vonis bebas dan hukuman sangat ringan di Pengadilan Umum ternyata sangat kontras dengan Pengadilan Tipikor. Hingga saat ini semua kasus korupsi yang diajukan KPK divonis besalah di Pengadilan Tipikor. Rata-rata hukuman sekitar 4,5 tahun. Sehingga, masuk akal jika banyak pihak “tidak suka” dengan keberadaan KPK dan pengadilan ini. Mereka bagai neraka bagi koruptor.

Sehingga, pengadilan dan MA tentu saja harus “dijaga” dan “diamankan”. Upaya membajak kredibilitas pengadilan juga sangat potensial dilakukan pada proses pemilihan Ketua MA yang akan dilakukan akhir Januari 2009 ini. Pihak berkepentingan, termasuk politisi dan kekuatan lain diperkirakan akan menempatkan prosesi ini sebagai sasaran tempak terpenting.

Bukti lain ketidaksukaan dan resistensi tersebut dapat dilihat dari berbagai tindakan politisi Parpol dan DPR untuk memperlemah dan bahkan mendeligitimasi. Mulai dari upaya melemahkan kewenangan penyadapan KPK, mempersulit pengajuan anggaran tambahan untuk tahanan KPK, menghilangkan eksistensi Hakim Ad Hoc di UU MA, hingga memperlambat pembahasan RUU Pengadilan Tipikor.

Khusus poin RUU Pengadilan Tipikor, kita tahu, deadline yang diberikan MK sudah sangat dekat. Kurang dari 1 tahun, jika UU Pengadilan Tipikor tidak selesai, maka semua kasus korupsi akan dilimpahkan hanya pada Pengadilan Umum. Mudah dimengerti, ini berarti bencana bagi upaya pemberantasan korupsi. “Sorga” bagi koruptor akan kembali di tahun ini jika DPR gagal mengesahkan UU tersebut. Dan, pengadilan di Indonesia tetap akan tumbuh dalam terminologi “incredible justice”. Saat keadilan mentah dibalik tawar-menawar politik, kekuasaan dan -mungkin-uang. Hakim-hakim baik pun “dipaksa” ikut kotor. (*)

FEBRI DIANSYAH

—-

sumber foto: KOMPAS Images

Mendung di Hari Anti Korupsi

“Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan segala tindak tanduk, pernyataan, dan kebijakannya justru berdiri pada posisi mengancam dan menghambat pemberantasan korupsi. Setidaknya terdapat lima poin besar mengenai resistensi DPR ini”

Dimuat di: Seputar Indonesia, Selasa 9 Desember 2008

1197299056hari-anti-korupsi1Seriuskah pemberantasan korupsi di Indonesia? Pertanyaan sederhana ini menjadi relevan di tengah gegap-gempita persiapan perayaan Hari Antikorupsi di Lapangan Monas, 9 Desember pagi ini.

Continue reading

Memetakan Dugaan Korupsi Sisminbakum

Beberapa hal yang kontras mulai diperdebatkan ketika salah seorang akademisi dan praktisi yang sering terlibat aktivitas pemberantasan korupsi justru ditahan atas tuduhan korupsi.

Dimuat di: Jawa Pos, Rabu 19 November 2008

Romly Atmasasmita, guru besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran, mantan pejabat Departemen Hukum dan HAM (Depkum HAM), menjadi ahli yang berpihak pada pemberantasan korupsi. Kemudian, banyak yang bilang bahwa Romly harus dibela. Sebab, dia korban buruknya sistem. Penegakan hukum yang dilakukan kejaksaan lebih dilihat sebagai upaya serangan balik koruptor, bahkan kental urusan politis. Tapi, bukankah tidak ada maaf untuk koruptor? Termasuk, teman dekat atau bahkan saudara.
Continue reading

Koruptor di Sekitar Skandal BI

Siapa Menyusul Setelah Aulia Pohan

Dimuat Senin, 03 November 2008

“Beberapa saat setelah pembacaan vonis untuk mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, KPK mengumumkan empat tersangka baru. Salah satunya menyentuh orang terdekat presiden -besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di satu sisi apresiasi dan dukungan patut diberikan kepada institusi tersebut. Terutama karena lambat laun hukum mulai ditegakkan, bahkan menyentuh lingkar Istana. Meskipun tentu bukan tanpa catatan” Continue reading