Akar Korupsi

Beberapa kalangan menggunakan istilah Korupsi Politik untuk menjelaskan posisi parpol, kekuasaan dan modal sebagai tiga unsur yang berkelindan membajak fungsi Negara.

, Kamis 19 Maret 2009

Sebanyak 38 partai politik bulan lalu (25/2) menghadiri semacam deklarasi antikorupsi di kantor KPK. Niatnya mulia, menyamakan pesepsi KPK dan Parpol untuk menghadapi Pemilu 2009. Tentang Korupsi.

the-evil-of-the-roots1Banyak poin dibicarakan, tapi agaknya satu hal terlupakan. Posisi Parpol sebagai salah satu bagian rentan dari “akar tunggang” korupsi Indonesia.

Beberapa kalangan menggunakan istilah Korupsi Politik untuk menjelaskan posisi parpol, kekuasaan dan modal sebagai tiga unsur yang berkelindan membajak fungsi Negara. Dari sudut pandang ini, secara teoritis agaknya Deklarasi rabu siang itu patut diragukan. Terutama jika ia sekedar menjadi alat legitimasi politik komitmen pemberantasan korupsi.

Menurut Indonesia Corruption Watch, tesis sederhana dari Korupsi Politik berangkat dari posisi aktor politik sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Di tataran praktek, persilangan kepentingan antara partai politik, pebisnis dan pemilik modal lah yang menjadi latar belakang tidak berjalannya fungsi Negara sebagai pelayan masyarakat.

Pada wilayah penegakan hukum, kita mengenal istilah “Mafia Peradilan”. Selain uang, alat yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan adalah intervensi politik. Hal ini pun bahkan pernah diakui secara implisit oleh pimpinan dua Kekuasaan Kehakiman Indonesia. Bahwa, pengadilan sangat rentan dengan politisasi dan intervensi. Tujuannya sederhana, memastikan putusan tidak membahayakan aktor dan kader partai politik.

Catatan ICW tentang putusan bebas/lepas kasus korupsi di pengadilan umum dari tahun 2005-2008 memperjelas posisi tersebut. Dari 1421 terdakwa yang terpantau, vonis bebas/lepas diberikan untuk 659 orang. Persoalannya, lebih dari 700 terdakwa yang diproses merupakan kader-kader Parpol, baik yang duduk di DPR, DPRD ataupun pemerintahan daerah.

Di sektor eksekutif juga demikian. Sejumlah kebijakan negara cenderung potensial dibajak untuk menguntungkan kelompok bisnis tertentu. Dalam skandal BLBI, publik menjadi saksi bagaimana pemerintah justru memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada obligor bermasalah.

Khusus poin ini, dokumen ICW yang diolah dari Audit BPK No. 34G tahun 2006 menunjukkan, persentase utang belum lunas 5 obligor yang mengantongi SKL cukup signifikan, yakni hampir 70%. Apakah kebijakan tersebut disebabkan karena pebisnis terkait masuk salah satu daftar pemberi sumbangan dana politik? Tidak ada yang tau persis karena ketertutupan dan problematika audit dana kampanye masih terjadi.

Dengan demikian, mungkin hasil survey Global Corruption Barometer yang dirilis TI-Indonesia 3 tahun berturut-turut itu benar. Parlemen dan Partai Politik secara variatif selalu masuk pada 4 jajaran sektor terkorup dari tahun 2005 sampai 2007.

Tugas konstitusional

Potret diatas menjadi menarik jika dihubungkan dengan data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Modal para kader parpol agar bisa duduk di Senayan untuk satu kursi mencapai Rp. 5 miliar. Ongkos politik sangat mahal. Padahal mereka lah yang diharapkan menjadi penyambung lidah, keresahan, tuntutan dan kepentingan rakyat di DPR-RI lima tahun kedepan.

Pada tataran praktis, pengelolaan keuangan partai politik, transparansi dan akuntabilitas sumbangan dana kampanye dinilai masih relatif buruk. Dan, struktur perundang-undangan politik pun tidak cukup memberikan sanksi yang kuat. Kejahatan seperti penerimaan dana diatas batas Rp. 1 sampai 4 miliar bahkan hanya diancam dengan penjara maksimal satu atau dua tahun pada Undang-undang nomor 2 tahun 2008.

Padahal sumber dari Korupsi Politik berawal dari pendanaan partai politik seperti ini. Tesisnya, arah kebijakan aktor parlemen sangat berhubungan dengan siapa yang mendanai dalam proses pemilihan mereka.

Oleh karena itu, dapat dikatakan para caleg akan berkompetisi dalam struktur hukum yang lemah, dan tingkat corruption opportunity yang tinggi. Dan, merekalah yang akan mengisi kursi parlemen. Sementara, dalam struktur ketatanegaraan Indonesia posisi ini sangat strategis dan penting.

Pasal 6A UUD 1945 yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya. Pengusulan calon Presiden dan wakil presiden bahkan merupakan monopoli partai politik.

Demikian juga dengan parlemen. Pasca amandemen, DPR diberikan kewenangan yang sangat kuat. Mulai dari sekedar memberikan pertimbangan dalam pengangkatan duta dan konsul, memberikan grasi dan rehabilitasi, pembentukan undang-undang, hingga pengusulan pemberhentian Presiden. Termasuk bersama Presiden menyetujui perang dan perdamaian.

Pertanyaanya, apakah tesis dan kompleksitas masalah korupsi politik diatas dapat dijawab dengan seremonial deklarasi? Agaknya, tidak. Kalaupun KPK menyebutnya dengan strategi pencegahan, ia justru tidak akan efektif jika tidak didahului dengan pembacaan yang utuh tentang konstruksi Korupsi Politik. Dan, tulisan ini hendak menguraikan satu benang kusut akar korupsi di sektor politik.

Kalaupun ingin mensinergikan strategi pencegahan dan penindakan, ke depan KPK dinilai lebih baik fokus pada investigasi pendanaan partai politik dan memetakan jaringan aktor penyumbang caleg, parpol serta kelompok politik terkait. Kemudian, menganalisis praktek pencucian uang dan pensiasatan dana politik. Demikian demikian, dengan menggunakan kekuatan dan kredibilitas KPK dengan bekerjasama dengan lembaga seperti PPATK, maka Akar Korupsi tersebut dapat dipangkas. Dibongkar.

Strategi ini tentu akan lebih efektif mengawal Pemilu 2009 dibanding sekedar pose Deklarasi Anti Korupsi yang justru rentan dipolitisir.(*)

Febri Diansyah

akar-korupsi_kompas-19-maret-2009

Trend Korupsi Wakil Rakyat

Dimuat di: Seputar IndonesiaJumat 6 November 2009

……” Kurang lebih, dalam karakter korupsi ini, kekuatan politik digunakan sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mendapatkan hak, konsensi, proyek, dan sejenisnya yang bertujuan mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Dengan kata lain, fungsi-fungsi konstitusional yang diberikan UUD 1945 terhadap anggota DPR “dijual” dengan imbalan uang untuk memperkaya kelompok bisnis “……

LAMA tak terdengar gebrakannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap-tangan seorang anggota DPR dari Fraksi PAN. Kerja keras tim KPK tentu patut diapresiasi. Apalagi, Abdul Hadi Djamal adalah anggota DPR ke-9 yang diproses oleh KPK terkait dugaan korupsi.

 

Seperti diketahui, Abdul Hadi ditangkap saat atas dugaan menerima uang dari komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti. Sebagai alat bukti, KPK menyita uang senilai USD90.000 dan Rp54,5 juta.

 

Fenomena yang menarik, transaksi terjadi justru ketika masyarakat sama sekali belum melupakan Deklarasi Antikorupsi sejumlah pimpinan Partai Politik di KPK (25/2). Janji dan pernyataan yang dibacakan pimpinan partai politik itu terdengar sangat meyakinkan, seolah benar mereka tidak akan korupsi.

 

Tapi, kenyataan bicara sebaliknya. Dan, tentu saja hal ini akan dilihat secara sinis oleh publik. Sehingga, dalil bahwa deklarasi anti korupsi hanya bersifat seremonial terbukti. Toh, akhirnya satu orang anggota DPR tertangkap lagi dan sejumlah nama anggota DPR lainnya sempat dikaitkan dengan kasus ini.

 

….. “Partai bersangkutan mungkin akan bilang, itu ulah oknum yang tidak ada hubungaan dengan Partai, apalagi penyelenggaraan pemilu. Bantahan tersebut sah-sah saja, namun yang pasti tertangkapnya anggota DPR atas tuduhan korupsi sekaligus menegaskan bermasalahnya rekruitmen politik dan pengawasan internal parpol. Dengan kata lain, hal itu tidak dapat dikatakan sebagai kesalahan personal”…..

 

Politisi Busuk

Selain Abdul Hadi, publik tentu sudah sangat mengenal nama-nama anggota DPR lain seperti: Anthoni Zeidra Abidin, Hamka Yandhu, Noor Adenan Razak, Bulyan Royan, Al Amien Nasution, Sarjan Taher, Yusuf Emir Faisal dan Saleh Djasit. Tiga diantara delapan tersebut merupakan anggota dewan pada periode 1999-2004, dan sisanya duduk di DPR periode saat ini.

 

Mereka adalah orang yang dipilih rakyat pada pemilihan umum, yang rata-rata butuh 210 ribu suara untuk satu kursi di DPR-RI. Artinya, praktek korupsi yang dilakukan sama halnya dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan ratusan ribu rakyat yang mencoblos nama mereka. Kebusukan inilah yang terus dipraktekkan sampai aparat legislatif ini benar-benar tertangkap tangan oleh KPK. Dan, kita tahu, masih banyak legislator lain yang belum dijerat meskipun sejumlah bukti seperti catatan aliran uang sudah ditangan penegak hukum. Sebagian besar mereka mungkin tersebar dalam catatan daftar calon legislatif di berbagai daerah di Indonesia.

 

Di level daerah bahkan ditunjukan potret yang lebih buram. Catatan ICW tentang putusan bebas/lepas kasus korupsi di pengadilan umum dari tahun 2005-2008 memperjelas posisi tersebut. Dari 1421 terdakwa yang terpantau, ternyata lebih dari 700 terdakwa yang diproses merupakan kader-kader Parpol, baik yang duduk di DPR, DPRD ataupun pemerintahan daerah.

 

Khusus untuk korupsi anggota DPR-RI yang ditangani KPK, ternyata terdapat trend yang menunjukan gejala yang sama. Modus yang digunakan rata-rata adalah suap dan hampir selalu berhubungan dengan pemenuhan kepentingan kelompok bisnis. Biasanya terkait dengan proyek-proyek pembangunan dan pengadaan barang; kebijakan ahli fungsi status hutan; dan bahkan upaya menghambat penyelesaian proses hukum seperti BLBI.

 

Sehingga, agaknya tesis Korupsi Politik terpenuhi pada kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Kurang lebih, dalam karakter korupsi ini, kekuatan politik digunakan sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mendapatkan hak, konsensi, proyek, dan sejenisnya yang bertujuan mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Dengan kata lain, fungsi-fungsi konstitusional yang diberikan UUD 1945 terhadap anggota DPR “dijual” dengan imbalan uang untuk memperkaya kelompok bisnis.

 

Dikaitkan dengan Deklarasi Anti Korupsi sejumlah Partai Politik di KPK, maka argumentasi Korupsi Politik inilah yang menjadi dasar, bahwa deklarasi yang bersifat seremoni tidak akan banyak membantu pemberantasan korupsi di sektor parlemen, legislatif dan partai politik. Karena sector ini punya karakter tersendiri yang tidak hanya dapat “diobati” dengan resep tradisional atau konvensional seperti yang sekarang diterapkan.

 

Dalam istilah berbeda, korupsi jenis ini agaknya dapat dibaca dengan term “State Capture”. Kurang lebih berarti, korupsi yang berakibat pembajakan fungsi Negara sebagai pelayan masyarakat, penjaga kepastian hukum dan segala tugas lainnya yang diberikan undang-undang. Jika ingin mengobati, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah, “dimana akar korupsi tersebut?”. Mungkin salah satunya terletak pada pengaturan, transparansi dan akuntabilitas dana kampanye.

 

Menjelang pemilu 2009, isu inilah yang dinilai paling sensitif dan menyentuh kepentingan banyak pihak. Jika seorang caleg atau sebuah partai politik didanai oleh kelompok bisnis tertentu, maka dapat diperkirakan segala kebijakan saat mereka berkuasa akan menguntungkan pebisnis tersebut. Sedangkan untuk memelihara “kesetian” anggota DPR, maka stimulus-stimulus suap diberikan jika ada proyek atau konsensi yang harus didapatkan. Sehingga, praktek pemberian uang dalam berbagai bentuk yang melibatkan anggota DPR hampir tidak mungkin dihentikan jika akar persoalan tidak menjadi prioritas penegak hokum.

 

Melakukan penjebakan, penyadapan dan penangkapan di lokasi memang akan membuat KPK menuai pujian. Akan tetapi dalam jangka panjang, mengingat semakin canggihnya cara dan tekhnis korupsi, maka penangkapan demi penangkapan tidak akan terlalu memberi efek jera jika tidak diikuti strategi yang lebih mendasar. KPK sebenarnya bisa melakukan investigasi pendanaan partai politik dan memetakan jaringan aktor penyumbang parpol dengan kelompok bisnis. Sehingga, jika ada satu anggota DPR yang tertangkap, KPK bisa paham siapa aktor utama korupsi wakil rakyat itu.

 

Selain itu, jika sudah sampai di pengadilan, sebaiknya KPK menuntut maksimal, berupaya membuktikan setiap unsur delik. Sehingga hakim mau tidak mau juga harus menjatuhkan hukuman tertinggi. Membaca kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen memang tidak boleh sepotong-sepotong. Ia harus dilihat sebagai bagian yang utuh dari trend penkhianatan pada wakil rakyat.(*)

oleh: FEBRI DIANSYAH

URL foto: http://www.kpk.go.id/uploads/antasari-parpol.jpg

“Deklarasi Antikorupsi Partai Politik di KPK, tak sampai seminggu sebelum Anggota DPR Fraksi PAN ditangkap-tangan KPK”