Jurang Gelap Skandal BLBI

handcuffed_to_money.jpg“Hanya keledai yang jatuh lebih dari sekali di lubang yang sama“. Nukilan adagium ini relevan untuk menyingkirkan pikiran agar Kejaksaan membuka kembali kasus BLBI. Merupakan kenyataan yang hampir tak mungkin dibantah, Kejaksaan telah gagal mengusut BLBI. Buruknya dan rendahnya komitmen internal kejaksaan masih tetap menjadi persoalan mendasar penanganan kasus korupsi di Indonesia, khususnya BLBI.

JURANG GELAP SKANDAL BLBI

Dimuat di: Koran Tempo, Kamis 27 Maret 2008

Silang sengkarut skandal korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti berada di bibir jurang. Setelah proses hukum obligator BLBI tersendat-sendat hampir 10 tahun, Kejaksaan Agung justru menghentikan penyelidikan BLBI yang melibatkan Samsjul Nursalim dan Anthoni Salim (28/2). Tiga hari berselang, publik dikejutkan kabar tertatangkapnya UTG, Ketua Tim Jaksa BLBI dalam dugaan suap Rp. 6 miliar.

Ditengah tingginya perhatian publik untuk mengungkap BLBI, Mahkamah Agung justru mengurangi hukuman salah seorang obligator BLBI, David Nusa Wijaya hingga 4 tahun pidana. Ketidakpercayaan sekaligus kekecewaan publik telah bertumpuk. ICW mencatat, putusan ini adalah salah satu bentuk ketidakberpihakan pengadilan umum terhadap agenda anti korupsi.

Secara makro, lemahnya komitmen pengadilan umum dalam kasus korupsi dapat dilihat dari trend putusan tahun 2005 hingga 2007. Sebagian besar hakim memutus bebas atau menerapkan pidana minimum terhadap terdakwa korupsi. Di tahun 2005, lebih dari 75% putusan dikategorikan tidak berpihak pada agenda anti korupsi, dengan perincian 41% diputus bebas, dan 34,6 % dihukum pidana minimal kurang dari 2 tahun. Fenomena ini tidak berubah secara mendasar hingga tahun 2007.

Seperti catatan ICW, bahkan di tahun 2007 putusan bebas mencapai angka 56,8%, dan hukuman minimal sejumlah 15,2%.Dari catatan ini dapat dibaca fenomena krisisnya pemberantasan korupsi jika masih ditangani pengadilan umum. Atas dasar itulah, korupsi BLBI sebagai sebuah mega skandal yang merugikan rakyat ratusan triliun rupiah harus dijauhkan dari prosedur yang berujung pada pengadilan umum. Di titik inilah, dorongan agar KPK mengambil alih dan proses hukum dilaksanakan pada pengadilan Tipikor harus disikapi serius.

Jika dicermati, inilah putusan yang kesekian kalinya menafikan aturan hukum fundamental. Hakim secara tegas telah mengacuhkan kewajibannya. Bab IV undang-undang kekuasaan kehakiman mengatur tiga pasal mendasar tentang kewajiban hakim. Disebutkan, ”hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1)”, dan ”dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau jahatnya terdakwa (ayat 2)”.

Semangat anti korupsi pada putusan Kasasi sebelumnya juga disingkirkan dengan alasan hakim kasasi tidak memperhatikan itikad baik terdakwa.

Selain melalaikan kewajiban untuk mengikuti rasa keadilan masyarakat, hakim pun memelintir ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU kekuasaan kehakiman. Seolah ingin dikatakan, pidana terhadap terdakwa harus dikurangi karena ia telah bermaksud baik mengembalikan aset. Tapi, tidakkah pengembalian aset adalah kewajiban yang seharusnya dituntaskan secara sukarela sebelum adanya proses hukum? Kenapa terdakwa tidak menuntaskan? Bukankah pengembalian pasca diadili justru merupakan bentuk tidak beritikad baiknya terdakwa? Karena hal tersebut dilakukan atas dasar keterpaksaan. Seperti diketahui, David baru mengembalikan sebagian kecil aset setelah proses hukum berjalan.

Selain itu, David pun tidak menghargai supremasi hukum ketika memutuskan kabur (buron). Seharusnya, ketidaktaatan ini jadi catatan memalukan bagi MA sebagai penjaga keadilan, bukan justru menjadi alasan peringan bagi terdakwa.

Disebutkan diatas, hakim PK dapat dikatakan menafikan kewajibannya ”menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kemudian, memelintir makna kewajiban ”memperhatikan sifat baik dan jahat terdakwa”. Dua hal ini diatur pada Pasal 28 UU 4/2004, Bab tentang ”Hakim dan Kewajibannya”.

Pada bab yang sama dicantumkan juga sumpah dan janji hakim untuk memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Dan, pelanggaran terhadap sumpah dapat menuai konsekuensi serius. Hakim agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat jika melanggar sumpah atau janji jabatan (Pasal 12 ayat (1) UU Mahkamah Agung). Apakah para hakim berpikir tentang konsekuensi ini? Sebaliknya, apakah Mahkamah Agung berani menjalankan tugasnya untuk mengusulkan pemberhentian hakim bermasalah yang melanggar sumpah jabatan?

Kembali pada pertimbangan hakim PK yang menilai hakim kasasi salah menerapkan hukum karena menggunakan UU 31/1999. Bagian ini harus diakui selalu menjadi perdebatan. Di satu sisi, pihak tertentu akan mengatakan sebuah undang-undang tidak boleh berlaku surut. Atau, untuk perbuatan BLBI yang terjadi di tahun 1998, tidak dapat digunakan undang-undang yang ada di tahun 1999.

Untuk hal ini, mungkin hakim PK benar. Tetapi, tidakkah ada asas yang mengatakan, aturan yang baru mengesampingkan aturan sebelumnya? Sehingga, UU 31/1999 dapat menjadi salah satu bagian pertimbangan dalam memutus perkara BLBI. Kecuali, jika hakim kasasi hanya menggunakan UU 31/1999 sebagai dasar putusan. Seperti diketahui, hakim kasasi hanya mengambil semangat dari undang-undang yang baru untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Karena saat proses persidangan, telah juga terjadi perubahan aturan hukum yang sekaligus berarti peningkatan semangat anti korupsi.

ambil alih
“Hanya keledai yang jatuh lebih dari sekali di lubang yang sama“. Nukilan adagium ini relevan untuk menyingkirkan pikiran agar Kejaksaan membuka kembali kasus BLBI. Merupakan kenyataan yang hampir tak mungkin dibantah, Kejaksaan telah gagal mengusut BLBI. Buruknya dan rendahnya komitmen internal kejaksaan masih tetap menjadi persoalan mendasar penanganan kasus korupsi di Indonesia, khususnya BLBI. Sehingga, dorongan publik agar KPK mengambil alih penting disikapi.

Persoalannya, apakah KPK jilid II ini punya komitmen mendorong pemberantasan korupsi? Jika ya, KPK harus menentukan sikap untuk menangani BLBI. Atau, kalaupun KPK menolak, harus dijelaskan alasan yang rasional bagi publik. Bukan semata argumentasi retroaktif yang bahkan telah dibantah berulangkali oleh banyak akademisi dan ahli hukum. Karena publik tidak ingin, skandal BLBI ini jatuh dalam jurang yang gelap dan hening. Sebuah kengerian, BLBI yang tersungkur di ”Grand Canyon” yang tak berdasar. (*)

Febri Diansyah

Acuh Tak Acuh BLBI

3tikus.jpg

Hukum bukanlah sekedar peneguhan rasio yang kaku, melainkan perwujudan ide tentang keadilan, dan realitas sosial. Meskipun seorang penganut aliran “rasio” (redelijkrecht), bahkan Montesquieu dalam “I’Esprit des lois” justru menggarisbawahi konsep pencarian hukum dalam ide tentang keadilan dan pembacaan terhadap kenyataan sosial yang dinamis.

Sebaliknya, tiga hakim agung yang mengadili proses peninjauan kembali perkara BLBI David Nusa Wijaya menyingkirkan ide keadilan sekaligus menafikan kehendak sosial/publik. Undang-undang sebagai perwujudan ”rasio” pun tidak dipertimbangkan secara lengkap. Sebuah kekeliruan atas tuduhan kekeliruan.

Potongan Hukuman
Putusan PK untuk David BLBI tersebut, bukanlah putusan kontroversial pertama yang dikeluarkan MA. Seringkali, semangat pemberantasan korupsi yang telah diperjuangkan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, justru gugur di tingkatan Mahkamah Agung. Kontradiksi yang miris tentang rasa keadilan dan logika akal sehat.

Seperti disampaikan MA, pidana terhadap David dikurangi dari 8 menjadi 4 tahun. Majelis PK mengadili kembali dan mengambil alih putusan PT DKI Jakarta (KOMPAS, 15/3). Majelis yang dipimpin Parman Soeparman mendasarkan pertimbangan pada alasan kekeliruan penerapan hukum di tingkat Kasasi. Sehingga, putusan PT harusnya dianggap benar, karena hal tersebut merupakan kewenangan judexfacti (Pengadilan Tinggi). Sepintas, masuk diakal.

Namun, jika dicermati, inilah putusan yang kesekian kalinya menafikan aturan hukum fundamental. Hakim secara tegas telah mengacuhkan kewajibannya. Bab IV undang-undang kekuasaan kehakiman mengatur tiga pasal mendasar tentang kewajiban hakim. Disebutkan, ”hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1)”, dan ”dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat baik atau jahatnya terdakwa (ayat 2)”.

Ditengah derasnya tuntutan publik memerangi korupsi, dan terkuaknya skandal ”permata” Rp. 6 miliar di tubuh kejaksaan sebagai potret kebusukan yang ditutup-tutupi pada penanganan BLBI, para hakim agung justru meringankan hukuman koruptor. Bahkan, semangat anti korupsi pada putusan Kasasi sebelumnya justru disingkirkan dengan alasan hakim kasasi tidak memperhatikan itikad baik terdakwa.

Selain melalaikan kewajiban untuk mengikuti rasa keadilan masyarakat, hakim pun memelintir ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU kekuasaan kehakiman. Seolah ingin dikatakan, pidana terhadap terdakwa harus dikurangi karena ia telah bermaksud baik mengembalikan aset. Tapi, tidakkah pengembalian aset adalah kewajiban yang seharusnya dituntaskan secara sukarela sebelum adanya proses hukum? Kenapa terdakwa tidak menuntaskan? Bukankah pengembalian pasca diadili justru merupakan bentuk tidak beritikad baiknya terdakwa? Karena hal tersebut dilakukan atas dasar keterpaksaan. Seperti diketahui, David baru mengembalikan sebagian kecil aset setelah proses hukum berjalan.

Selain itu, David pun tidak menghargai supremasi hukum ketika memutuskan kabur (buron). Seharusnya, ketidaktaatan ini jadi catatan memalukan bagi MA sebagai penjaga keadilan, bukan justru menjadi alasan peringan bagi terdakwa.

Melanggar sumpah & janji

Disebutkan diatas, hakim PK dapat dikatakan menafikan kewajibannya ”menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kemudian, memelintir makna kewajiban ”memperhatikan sifat baik dan jahat terdakwa”. Dua hal ini diatur pada Pasal 28 UU 4/2004, Bab tentang ”Hakim dan Kewajibannya”.

Pada bab yang sama dicantumkan juga sumpah dan janji hakim untuk memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Dan, pelanggaran terhadap sumpah dapat menuai konsekuensi serius. Hakim agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat jika melanggar sumpah atau janji jabatan (Pasal 12 ayat (1) UU Mahkamah Agung). Apakah para hakim berpikir tentang konsekuensi ini? Sebaliknya, apakah Mahkamah Agung berani menjalankan tugasnya untuk mengusulkan pemberhentian hakim bermasalah yang melanggar sumpah jabatan?

Penerapan Hukum

Kembali pada pertimbangan hakim PK yang menilai hakim kasasi salah menerapkan hukum karena menggunakan UU 31/1999. Bagian ini harus diakui selalu menjadi perdebatan. Di satu sisi, pihak tertentu akan mengatakan sebuah undang-undang tidak boleh berlaku surut. Atau, untuk perbuatan BLBI yang terjadi di tahun 1998, tidak dapat digunakan undang-undang yang ada di tahun 1999.


Untuk hal ini, mungkin hakim PK benar. Tetapi, tidakkah ada asas yang mengatakan, aturan yang baru mengesampingkan aturan sebelumnya? Sehingga, UU 31/1999 dapat menjadi salah satu bagian pertimbangan dalam memutus perkara BLBI. Kecuali, jika hakim kasasi hanya menggunakan UU 31/1999 sebagai dasar putusan. Seperti diketahui, hakim kasasi hanya mengambil semangat dari undang-undang yang baru untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Karena saat proses persidangan, telah juga terjadi perubahan aturan hukum yang sekaligus berarti peningkatan semangat anti korupsi.

Sehingga, jika hakim PK mahkamah agung benar-benar mempunyai tanggungjawab terhadap pemberantasan korupsi dan berkomitmen menciptakan keadilan di masyarakat, beberapa perubahan aturan seharusnya dilihat dari kacamata hukum yang dinamis. Bukan justru bersikap acuh tak acuh pada kehendak masyarakat dengan terus meneguhkan rasio positivis yang kaku.

KY atau MA
Ada dua lembaga yang diharapkan menindaklanjuti silang sengkarut putusan hakim MA, bahkan termasuk dugaan adanya mafia peradilan, yaitu Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai tantangan bagi MA sendiri.

Katakanlah kita tidak berbicara tentang mafia peradilan, tetapi cenderung pada upaya bersama membangun konstruksi hukum dan menjaga pemenuhan kewajiban para hakim. Beranikah MA, minimal untuk membentuk tim dengan prioritas kajian pada kasus korupsi?

Sederhana saja, tim melihat konsistensi pertimbangan hukum para hakim agung dari satu kasus ke kasus lain. Kemudian mengevaluasi pemahaman mereka tentang kewajiban mendasar para hakim. Jika benar, para hakim tidak cukup paham, maka mereka harus disingkirkan. Atau, sebaliknya, jika mereka paham namun melalaikannya, maka ada alasan yang terang untuk memberhentikan para hakim tidak dengan hormat. Bangsa ini tidak terlalu butuh banyak hakim yang bebal dan acuh tak acuh. (*)

Febri Diansyah

Seandainya Saya Pengacara BLBI

opini-n-analisis.gif

(Tanggapan untuk Romli Atmasasmita)

Tulisan Romly Atmasasmita (KOMPAS, 5/3) akan menjadi pijakan awal diskursus pengambilalihan BLBI oleh KPK. Empat poin tanggapan hukum yang ditawarkan mengacu pada kesimpulan, KPK berwenang mengambilalih kasus BLBI. Ditengarai, jika KPK memutuskan menangani BLBI, maka pandangan Romly akan jadi sandaran utama.


Wewenang KPK
Patut dipertimbangkan empat antitesa untuk tulisan “KPK Mengambil Alih Kasus BLBI?”.


Pertama, tulisan asal mendalilkan, KPK dapat mengambilalih kasus BLBI dengan mendasarkan pada dasar Pasal 6 huruf b mengenai tugas supervisi, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 9 huruf d UU 30/2002. Tepatkah? Sepertinya, Tidak.

Pasal 8 ayat (2) berbunyi, “dalam menjalankan ayat (1) KPK berwenang juga mengambilalih penyidikan atau penuntutan…”. Dan, Pasal 9 huruf d, “pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 8, dilakukan KPK dengan alasan: (d) penanganan korupsi mengandung korupsi”.

Perhatikan, kedua pasal itu secara limitatif mengatur wilayah pengambilalihan pada tingkat “penyidikan dan penuntutan”.

Padahal, kita tahu, penghentian BLBI dengan obligator Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim berada di tahap penyelidikan (KOMPAS, 6/3). Tidakkah pendapat hukum poin pertama telah terbantahkan? Agaknya perlu ditinjau ulang.

Kedua, poin ini berhubungan dengan isu non retroaktif yang berhubungan dengan poin keempat yang akan dijelaskan nanti.

Ketiga, dalam hubungan dengan penangkapan UTG, dan berdasarkan Pasal 68 UU 30/2002, KPK dapat melakukan pengambilalihan.

Apakah Pasal 68 UU KPK berdiri sendiri? Jika opini hukum didasarkan pasal Pasal 68, maka pengaturan Pasal 9, 8 dan 6 ayat (2) sesungguhnya tidak dapat dipisahkan. Sayangnya dalam tulisan asal, pasal 68 seolah berdiri sendiri. Tidakkah pemisahan keempat pasal yang saling terkait dapat melemahkan posisi KPK? Mungkin, Ya.

Pasal 68 menyebutkan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KPK, dapat diambil alih berdasarkan Pasal 9”. Meskipun berhubungan dengan penangkapan Jaksa UTG yang mengakibatkan terpenuhinya Pasal 9 huruf d, akan tetapi kita perlu ingat ruang lingkup Pasal 9 tidak mencakup “penyelidikan”. Hanya “penyidikan dan penuntutan“. Pasal 9 pun mengacu pada kewenangan yang diatur di Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 6 huruf b.

Lantas, tepatkah mendasarkan kewenangan KPK pada rangkaian diatas? Bagian ini juga sepertinya masih perlu dikaji ulang.

Dan, Keempat, diungkapkan, KPK dapat mendasarkan tuntutannya pada UU 31/1999 dan UU 20/2001 karena UU 3/1971 telah dicabut. “Terhitung sejak pemberlakuan UU No 31/1999, tidak ada lagi justifikasi yuridis untuk menegaskan UU No 3/1971 masih berlaku” (Tulisan asal).

Apakah sebuah perbuatan dapat dituntut berdasarkan undang-undang yang belum ada saat perbuatan dilakukan? Tidakkah justru hal ini yang dinamakan retroaktif, atau berlaku surutnya sebuah aturan?

Persoalan prinsip pada poin ini terletak pada tidak jelasnya pemisahan antara hukum formil dan hukum materil. Lebih dari itu, asas legalitas menjamin, tak seorangpun dapat dituntut atas hukum yang berlaku surut. Bagaimana mungkin menuntut perbuatan yang terjadi di tahun 1997 dan 1998 dengan undang-undang yang baru terbit pada 16 Agustus 1999?

Harus tetap diingat, proses peradilan pidana mewajibkan jaksa membuktikan pemenuhan unsur demi unsur sebuah undang-undang yang spesifik. Disinilah dalil isi UU 3/1971 sama dengan UU 31/1999 berpotensi mengaburkan dakwaan/tuntutan jaksa (obscour libel). Konsekuensinya sangat tegas, dakwaan dapat batal demi hukum.

Jika saya pengacara BLBI
Semoga semua pihak tertarik mengkaji lebih dalam empat poin diatas. Karena bahkan kekeliruan memperhatikan kata “penyelidikan” pada poin pertama saja telah berpotensi menjungkirbalikan argumentasi hukum yang dibangun. Begitu juga dengan poin ketiga dan keempat.

Bagian yang mengusulkan kasus BLBI diproses menggunakan UU 31/1999 jo 20/2001 dinilai mengingkari bagian dari undang-undang itu sendiri. Tulisan asal melupakan ketentuan Pasal 43A UU 20/2001 yang berbunyi, “Tipikor yang terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,….”.

Dalam kasus BLBI yang terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, tentunya diperiksa dan diputus berdasarkan UU 3/1971. Dalam hal ini berlaku konsep, jika undang-undang tegas mengatur, tidak boleh ditafsirkan sebaliknya. Maka, jika saya penasehat hukum BLBI, cukup mudah membantah argumentasi hukum KPK.

KPK usut dari awal
Diluar pengandaian pengacara BLBI dan selain dorongan mengambil alih, patut dipikirkan agar KPK mengusut kasus BLBI dari awal. Poin prinsipil terletak pada tawaran dalil “KPK mempunyai kewenangan mengusut perkara tipikor sebelum UU 32/2003 diundangkan, sepanjang tidak melewati daluarsa penuntutan”.

Pendapat hukum ini dapat disederhanakan pada konstruksi Pasal 1 angka 1 UU KPK. Disebutkan,”dalam UU ini, yang dimaksud Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud UU 31/1999 dan UU 20/2001″. Pasal ini seringkali juga digunakan berbagai pihak untuk menyatakan KPK hanya mempunyai kewenangan memproses perkara korupsi setelah UU 31/1999 ada, atau terhadap perbuatan yang terjadi setelah 16 Agustus 1999. Padahal, bagian tersebut justru dapat meneguhkan jangkauan KPK yang sangat luas.

Jika UU KPK menunjuk UU 31/1999 dan UU 20/2001, maka semua pasal pada undang-undang tersebut berlaku sebagai dasar hukum materil dan formil bagi KPK untuk bertindak. Salah satu bagian yang sangat penting terletak pada Bab VI A, Pasal 43A yang menunjuk UU 3/1971. Di titik inilah ruang lingkup tipikor mencakup pada perbuatan yang terjadi dalam yuridisksi UU 3/1971.

Dengan kata lain, KPK mendasarkan kewenangan hukum formilnya pada UU 30/2002 (UU KPK) dan UU 31/1999 jo 20/2001 (KPK bertindak ke depan/prospektif). Sedangkan, diranah hukum materiil, dakwaan BLBI sebaiknya didasarkan pada UU 3/1971. Bukan UU 31/1999.(*)

KPK Mengambil Alih Kasus BLBI?

logo-kompas.gif
oleh: Romli Atmasasmita

Penangkapan UTG, Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI, oleh KPK berikut barang bukti uang 660.000 dollar AS mengundang kecurigaan.

Di media, melalui Jampidsus, Kejagung membantah keterkaitan itu meski KPK belum selesai menyelidiki UTG dan AS. Pernyataan Kejagung itu sebenarnya prematur dan tidak etis ketika KPK sedang melakukan penyidikan. Sebenarnya yang tepat membuat pernyataan itu adalah KPK. Kepanikan Kejagung dapat dipahami karena perbuatan UTG mencoreng lembaga Kejagung dalam pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda unggulan kabinet SBY.

Masalahnya kini, bagaimana jika dalam suatu proses penegakan hukum terjadi tindak pidana korupsi? Jika kemudian ditemukan keterkaitan antara uang Rp 6 miliar lebih dan penghentian penyelidikan kasus BLBI, pertanyaannya, apakah KPK dapat melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus BLBI?

Ada pendapat, KPK tidak dapat mengambil alih ”penanganan” kasus BLBI sesuai asas non-retroaktif. Selain itu, bagi KPK hanya berlaku UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 dan tidak dapat menggunakan UU No 3/1971. Penyebabnya, kasus BLBI terjadi tahun 1998 dan UU No 31/1999 belum diundangkan.

Wewenang KPK

Pendapat hukum itu patut dicermati dengan pendekatan hukum pidana.

Pertama, wewenang KPK untuk mengambil alih telah diatur dalam UU KPK No 30/2002. Penegasan KPK dapat mengambil alih (Pasal 8 Ayat 2) dalam rangka supervisi (Pasal 6 huruf b), baik penyidikan maupun penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam kasus UTG, KPK dapat mengambil alih jika penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi (Pasal 9 huruf d). Ketiga pasal itu mengisyaratkan, KPK dapat mengambil alih kasus BLBI.

Kedua, terkait masalah retroaktif secara normatif bunyi ketentuan Pasal 1 Ayat 1 Kitab UU Hukum Pidana sebagai asas hukum pidana, ditujukan terhadap perbuatan (sic!) untuk melindungi seseorang dari perlakuan sewenang-wenang penegak hukum dengan menggunakan UU yang berlaku setelah perbuatan itu dilakukan, di mana yang bersangkutan tidak mengetahui sebelumnya. Asas hukum non-retroaktif menegaskan, hanya terhadap perbuatan yang telah dikriminalisasi dalam suatu UU sebagai tindak pidana seseorang dapat dituntut dan dihukum.

Ketiga, tindak pidana korupsi telah dikriminalisasi sejak UU No 3/1971 berlaku sehingga perbuatan suap (aktif dan pasif) telah menjadi tindak pidana dan dapat dipidana sebelum UU tahun 1999 berlaku. Atas dasar inilah jika kasus BLBI terbukti merupakan tindak pidana korupsi dan terkait kasus UTG, KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutannya sesuai Pasal 68 UU KPK. Pasal itu menegaskan, semua penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai dapat diambil alih KPK berdasar alasan Pasal 9 huruf d UU KPK.

Keempat, meski ketiga analisis hukum itu sudah jelas, masih tersisa pertanyaan, bagaimana dengan Pasal 62 UU KPK bahwa pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001? Ketentuan itu bukan rintangan bagi KPK untuk mengambil alih pemeriksaan kasus BLBI karena UU No 3/1971 telah dicabut, berlakunya UU No 31/1999 yang kemudian diubah dengan UU No 20/2001. UU No 31/1999 merupakan UU yang mencabut berlakunya UU No 3/1971. Sesuai asas hukum pidana, secara yuridis-logis, UU No 31/1999 harus menegasikan (mencabut) berlakunya UU No 3/1971 karena kedua UU itu mengatur hal yang sama (Remellink: 2003). Terhitung sejak pemberlakuan UU No 31/1999, tidak ada lagi justifikasi yuridis untuk menegaskan UU No 3/1971 masih berlaku dan KPK tidak berwenang mengambil alih penyidikan serta penuntutan dan Pengadilan Tipikor tak berwenang memeriksa perkara tindak pidana korupsi berdasar UU No 3/1971. Namun, belum selesai dilaksanakan karena alasan-alasan tertentu. KPK dapat mengambil alih dan melanjutkan penyidikan serta penuntutan berdasar UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001.

Berdasarkan analisis hukum itu, KPK dapat menyelidiki, menyidik, dan menuntut atas kasus BLBI jika ditemukan unsur korupsi dalam penyelesaian kasus BLBI. Pengadilan Tipikor juga tetap berwenang memeriksa dan mengadilinya.

Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

KOMPAS, 5 Maret 2008

Polarisasi Pendapat Pengambilalihan BLBI oleh KPK

karikatur-blbi.jpg

detektip.gif

Hampir tidak ada alasan bagi KPK untuk menolak pengambil alihan kasus BLBI. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar, yang mencapai Rp. Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang dikucurkan; penyelewenangan anggaran Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima; beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk melunasi utang BLBI; kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di institusi kejaksaan yang mulai terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai alasan sosial politik agar KPK turun tangan.

Dan, tulisan ini ingin menjelaskan dasar kewenangan pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK. Lebih ditujukan sebagai tawaran pendapat hukum alternatif untuk KPK.

Harus diakui, hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara. ICW menilai, setidaknya perdebatan hukum tersebut terpolarisasi menjadi tiga poin sentral.


Pertama, KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 20/2003 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan ini hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan Bram Mannopo. Saat itu, didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara sebelum 27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU KPK harus dibatalkan karena bersifat retroaktif atau berlaku surut.

MK menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68 yang berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal tersebut jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif berarti KPK hanya melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai sebelumnya oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang berlaku surut atau tidaknya kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan penekanan, KPK punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara korupsi yang ada sebelum KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan kewenangan pengambil alihan.

Dengan demikian, poin pertama tentang kewenangan KPK yang terbatas pada perkara yang terjadi setelah UU KPK terbentuk telah dapat dibantah.

Kedua, KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi terbatas pada waktu sejak UU 31/1999 dan UU 20/2001 (UU Tipikor) diundangkan, yaitu sejak 16 Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1 angka (1) UU KPK. Disebutkan; “tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU 31/1999 dan UU 20/2001 (UU Tipikor)”.

Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dicantumkan pada konsideran “menimbang huruf (a)” hanya terbatas pada pengertian tindak pidana korupsi yang diatur pada UU 31/1999 dan UU 20/2001.

Ada dua catatan hukum yang dapat diajukan terhadap pandangan diatas. Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan yang berada di wilayah hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah hukum formil. Bagian yang mengatur tentang defenisi Tindak Pidana Korupsi (Pasal 1 angka (1) UU KPK) dalam posisinya sebagai ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (UU Tipikor) merupakan aturan hukum materiil.

Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka (1) UU KPK yang merujuk pada UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif. Padahal, merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh.

Perhatikan Pasal 43A ayat (1) UU 20/2001 jo UU 31/1999 (UU Tipikor). Bagian yang terletak di Bab VI A, Ketentuan Peralihan ini menyebutkan, ” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU 3/1971 tentang Pemberantasan Tipikor,�”. Sehingga, dapat dikatakan UU Tipikor juga menganut defenisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU 3/1971.

Artinya, Pasal 1 angka (1) UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor seperti yang diatur pada UU 31/1999 jo UU 20/2001 sekaligus UU 3/1971. Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh menangani perkara yang berada pada yurisdiksi UU 3/1971 sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan.

Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK berwenang atau tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU 31/1999, melainkan hanya soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak pidana terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara, KPK menggunakan UU 3/1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap terdakwa.

Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK dan UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan pidana. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68 UU KPK dan Pasal 1 UU 8/1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/KUHAP).

Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu: kewenangan supervisi KPK dan pengambil alihan “proses” penanganan perkara. Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa “penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, defenisi frasa tersebut dapat dicari pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian tindakan”.

Maka jelaslah, kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada Pasal 68 UU KPK sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan. Artinya, sepanjang KPK melakukan tindakan (Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi sebelum adanya UU 31/1999, maka KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan “serangkaian tindakan” berdasarkan UU KPK yang telah ada sebelum “serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan.

Dalam kasus BLBI yang terjadi sebelum adanya UU 31/1999, KPK tidak dapat dikatakan melakukan sesuatu yang berlaku surut (retroaktif) jika KPK melakukan itu berdasarkan UU KPK, kecuali jika KPK mendasarkan dakwaannya pada undang-undang (hukum materiil) yang belum ada ketika perbuatan (tindak pidana BLBI) dilakukan.

Berdasarkan hal diatas, pembahasan pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal 9 UU KPK mengatur syarat dapat dilakukannya pengambilalihan.

Dalam kasus BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial UTG dari Kejaksaan Agung Minggu sore (2 Maret 2008) menunjukan terkandungnya unsur korupsi dalam penanganan BLBI. Dengan demikian unsur Pasal 9 butir (d) UU KPK terpenuhi, “pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam penanganan kasus korupsi terdapat unsur korupsi”.

Selain itu, penanganan BLBI juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa dapat dipertanggungjawabkan seperti disebutkan pada Pasal 9 butir (b). Dan, mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9 bersifat alternatif yang ditunjukan dengan penggunaan kata “atau“, maka tidak dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir (a) sampai dengan (f) untuk melakukan pengambil-alihan kasus BLBI. Bahkan, terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK mengambil alih kasus BLBI.

Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara gamblang, tidak ada alasan lagi bagi KPK untuk berkelit. Itu pun jika KPK benar-benar punya komitmen pemberantasan korupsi yang teguh. Bergegaslah, waktu tak akan menunggu. (*)

Febri Diansyah