“Kesetaraan adalah sesuatu yang utopis. Sesuatu yang tidak mungkin. Kecantikan wanita adalah kutukan bagi lelaki. Pesonanya merupakan awal kebodohan bagi lawan jenisnya untuk menerima eksistensi wanita secara rasional dan sejajar. Hingga, pemujaan terhadap perempuan hanya sekedar produk Kristianitas dan Sentimentalitas Jerman”.
PEREMPUAN, BERGEGASLAH. WAKTU TAK MENUNGGU.
Satu pertanyaan kecil, samakah ‘perempuan’ dengan ‘wanita’? Hanya semantik. Tapi tidakkah ini penting? Toh, begitu banyak sengketa atau bahkan peradaban yang dimulai dengan kata.
Dan, kemudian, satu petikan sederhana.
“dengan kata-kata kita membangun jembatan antara satu orang dengan orang lainnya. dengan kata-kata para penindas membangun tirani dibalik paksaan utuk bungkam. bahkan, dengan kata-kata juga…..”
Ah, tapi sudahlah. Bukankah ini cerita tentang perempuan yang agak sulit dipersamakan dengan wanita.
Perempuan terposisikan minor, bahkan sejak dari konteks yang amat sangat dekat. Bahasa, dan bahkan kultural. Bahasa yang saban hari digunakan. Fenomena kultural yang hadir hampir di tiap denyut kehidupan masyarakat kita. Dan, ini penting. Namun sebagian dari kita melupakannya.
Beberapa teman di sana tentu mengerti dengan norma yang seringkali tumbuh membentuk pola pikir kultural.
“Wanita ateges wani di tata”. Sebagian tafsir kultural Jawa sempat sangat meyakini ini. Namanya “wanita”, harus wani ditata. Persepsi umum soal ketidaksederajatan wanita dengan pria dapat saja berawal dari sini. Wanita hanya soal objek, ditata sesuai dengan kepentingan penata, dan tidak ada ruang untuk kebebasan menata (mengatur) nasib sendiri.
Ditambah pemahaman buta soal gender specific, bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar dalam hal pekerjaan antara wanita dengan pria. Pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak layak dikerjakan pria lantaran dipandang sebagai pekerjaan wanita. Dan, satu pengibaratan lagi menjadikan konsep kesetaraan sekedar simbolik dan dirasa tidak mengakar pada budaya dan kultural masyarakat.
Wanita ibarat awan dadi theklek bengine ganti dadi lemek (siang jadi bakiak, malam naik pangkat jadi—maaf—alas untuk ditindih). Dan, tentu saja persepsi seperti ini yang terus ditentang kaum feminis. Sebagian orang mengatakan, ini berawal feodalisme konvensional. Membagi masyarakat atas golongan tertentu—bangsawan dan rakyat—yang malangnya, wanita terposisikan pada titik tak kasat mata, paling bawah.
Athur Schopenhauer pun bahkan bicara, kesetaraan adalah sesuatu yang utopis. Sesuatu yang tidak mungkin. Kecantikan wanita adalah kutukan bagi lelaki. Pesonanya merupakan awal kebodohan bagi lawan jenisnya untuk menerima eksistensi wanita secara rasional dan sejajar. Hingga, pemujaan terhadap perempuan hanya sekedar produk Kristianitas dan Sentimentalitas Jerman. Mengecam Eropa, dan sebaliknya memuji Asia yang dipahami lebih mengerti memposisikan wanita sesuai dengan posisi yang layak. Di bawah pria. Bahwa posisi wanita sebagai subordinat dari pria adalah soal wajar.
“Asia mencontohkannya dengan baik”, ungkap Schopenhauer itu. Namun, kita paham ia salah dalam hal ini. Dalam kacamata eksistensialis pun, kemanusiaan tidak pernah dibedakan (dalam konteks ordinat dan sub-ordinat) antara pria dan wanita. Manusia ya manusia. Kebetulan saja ada perbedaan biologis, dan itu wajar. Tidak kemudian menjadikan satu lebih dari yang lainnya. Dan, bagaimana mungkin tubuh perempuan digambarkan sebagai adjektif-adjektif minor dan negatif. Persoalannya adalah bagaimana pemahaman kultural soal kesederajatan ini di-internalisasikan pada masyarakat, khususnya perempuan. Bahwa perempuan bukan objek. Perempuan sama saja dengan laki-laki—entah mungkin lain halnya dengan “wanita”.
Namun, terakhir, bagaimana jika saya bilang, “bersatulah perempuan”. Atau, tidak pun demikian, seorang akan berujar, “berpikirlah perempuan. Sedikit lebih serius. Pertimbangkan eksistensimu, sebagai sebuah entitas penting kemanusiaan yang sejajar dengan pria”. Toh kita sangat mengerti, tidak akan berubah nasib suatu kaum jika tidak kaum itu sendiri yang mengubahnya.
Bergegaslah, waktu tak menunggu. Selamat hari ibu. (*)
Febri Diansyah
Semakin Mantap Sae tulisan kawan kini.. Begitu juga dengan Blognya..
I love d way u express ur ideas, tajam dan kerap liar. Apa ini pengaruh Pakde Pram?:-) Anyway, thanz 4 masukan yg menyadarkan via this article, smg bnyak perempuan2/pihak2 yg tergerakan. Karena isu ini selamanya utopis kalau perempuan&lelaki sama2 tak sadar harga..
menurut saya sebuah teori tidak mutlak bisa di terima, pada kenyataanya mungkin yang lebih cenderung menyukai perempuan cantik adalah kaum lelaki, sehingga kaum perempuan berusaha mempercantik dirinya untuk kaum lelaki (mungkin adalah bodoh perempuan yang menunjukkan kecantikannya pada semua lelaki), lalu kenapa ada pernyataan bahwa kecantikan perempuan merupakan sebuah kutukan (mungkin adalah bodoh lelaki yang terkutuk karena kecantikan perempuan).
orang-orang yang meributkan keadaan fisik (cantik tak cantik, atau tampan tak tampan mungkin adalah pendo(s)a seperti saya).
bukankah antara perempuan dan lelaki memang tidak bisa disejajarkan, kecuali kodrat mereka sebagai manusia yang sama-sama mahkluk Tuhan,
lelaki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban masing-masing,
(ini pernyataan yang basi)
tetapi mungkin sebagai perempuan harus lebih mawas diri dan dan siap untuk berani (tidak takut hidup sendiri, karena setiap saat lelaki bisa saja meninggalkannya, itu kenyataan, lalu perempuan diminta untuk sabar menerima, dan begitulah mungkin agama mengajarkan).
mungkin sebagian perempuan terjerumus karena lelaki, bahkan mungkin lelakilah yang menentukan standar dimana seorang perempuan dikatakan cantik, tentu saja standar itu lebih merugikan perempuan.
padahal perempuan hanya punya satu niat dasar mempercantik diri, yaitu untuk mengabdi dan menyenangkan lelaki, tetapi lelaki sebagian memang keparat….
salam
*maap bila kalimat saya ada yang tak berkeenan, karena saya seroang yang sangat kurang baca, dan koment ini hanya suara saya sebagai seorang permpuan*
http://gattyna.multiply.com/journal/item/1/WANITA_
di sini ada sekelumit kata tentan suara saya mengenai wanita.
iya, pak febri.
tetapi mungkin tidak semua yang ada dalam tengkorak itu adalah otak (akal yang mampu berpikir).
*untuk kalimat terakhir pak febri saya menunduk malu..*
Abang ICW.. Sepertinya aku sedikit terlambat membaca tulisan Anda. Tapi aku berharap tidak.. Jujur aku tersinggung dengan himbauanmu yang terakhir.. Kau diskriminatif (mudah-mudahan saja aku salah menilai) Tetapi menurutku Anda tidak boleh “sepihak” memberikan saran untuk berpikir hanya pada perempuan saja. Ayolah.. kenapa tidak Anda ajak juga “yang lain”, laki-laki (maaf terpaksa saya menggunakan kata ‘yang lain’, karena Anda yang memaksa saya) untuk berpikir bahwa di sini ada kawan yang sejajar dengannya.. Sebab kupikir percuma saja, perempuan berpikir keras dan berteriak-teriak tidak ada habisnya, jika laki-laki tak menganggapnya ada.
Abang, jika menurut Anda saya salah paham.. jelaskan mengapa?
Ohya Abang aku pikir Bang Yance sepakat denganku dalam hal ini.
ah Anda memang membual. Karena itu, tentu saja aku tidak percaya bahwa semua yang Anda katakan benar. Termasuk bahwa laki-laki tidak bisa “diharapkan” untuk membangun kesetaraan. Aneh menurutku.. Ke mana lagi perempuan akan ‘berharap’ kalau tidak kepada laki-laki. Dan demikian juga sebaliknya. Bukankah perempuan di dunia ini hidup bersama laki-laki, mereka partner; kawan penyeimbang bagi perempuan untuk membangun relasi setara, Abang.. Kau ayak-ayak wae.. (kata wapres Jarwo Kuat/JK) he he.. Ayolah kita sama-sama berpikir ulang Abang..
hahaha… Abang, aku tahu kau bukan orang Jawa, tapi tentu kau tidak asing dengan istilah “sumbang-sulur” antara “mimi lan mintuno” bukan?! karena kau sempat lama tinggal di Jogja.. Nuwunsewu Abang, pikirku.. aku tidak mungkin berjalan satu langkah di depan jika Abang masih tertinggal satu langkah di belakangku (demikian sebaliknya). Bisa jadi kau akan menjegal kakiku dari belakang, atau aku akan membelokkanmu di tikungan yang menjebakmu. Karenanya, pasti bisa kan.. kita saling mengisi dan berjalan berdampingan, bersebelahan, sejajar.. Tipis sekali bedanya dengan yang kau ungkap Abang, tapi menurutku ini subtansinya..
Bagaimana, setuju Abang yang bijak? hemm..
Kau boleh mengatakan aku defensif. Karena kau benar Abang, kadang terasa sulit untuk berdamai dengan segala hal di luar diri kita.. Tetapi sesungguhnya aku sepakat denganmu bahwa yang terbaik adalah memulai dari diri sendiri. Aku (perempuan) dan kau (lelaki) BARENG-BARENG memulai. Kau boleh dari puncak gunungnya, dan aku barangkali akan mengawali dari dasar lautnya. Tapi kau sepakat kita SAMA-SAMA memulai bukan, meski tidak dari titik garis yang sejajar…?! Ini sebetulnya yang aku pikirkan… Bagaimana Abang, apa aku masih terlihat bodoh? hehehe
Ohya Abang, aku tahu hari ini kondisi penuh dengan ‘timpang’, tapi jangan terlalu bersedih. Optimislah, maka aku akan salut pada Abang…!!!
🙂
Seru sekali perbicangan di sini.
Dalam Pitaruah Ayah sebuah Gurindam Nasihat Perkawinan yang sering terdengar menjelang lelap pada beberapa malam, sebuah Tesis beliau tawarkan. Katanya, sebagaimana sering terdengar dalam ajaran Islam, Hawa berasal dari tulang rusuk Adam. Barangkali perlu didebat, sebab bisa menjadi tema yang eksistensial.
Namun ada penjelasan “negatif” dengan bangunan kalimat yang “Tidak”. Hawa tidak berasal dari tulang punggung sebab dia akan tersuruk di belakang. Tidak juga dari tulang dada sebab akan mendahului di depan. Tidak dari tulang kaki sebab akan diinjak-injak oleh lelaki. Juga tidak dari tulang tengkorak kepala sebab akan mengepalai dalam suatu rumah tangga. Tulang rusuk kiranya memberikan makna suatu perdampingan dan kesimbangan. Keseimbangan yang belum tentu suatu kesamaan.
Itu suatu referensi saja dari banyak referensi lain yang punya konteks kebenarannya sendiri-sendiri.
Abang kita yang satu ini tampaknya memang keras kepala, sekaligus penuh inisiatif, Bang Yance.. 🙂 Aku tak keberatan angkat topi setulus hati buatnya.
Sorry Abang-ku berdua, barangkali ini agak keluar dari konteksnya, tapi aku ingin mengatakan bahwa dalam sebuah filsafat agama, jika aku tak keliru, ada empat kategori manusia di dunia ini. 1) Man adri annahu adri (orang yang tahu dirinya tahu), 2) Man adri annahu la adri (orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu), 3) Man la adri annahu adri (orang yang tak tahu bahwa dirinya tahu), 4) Man la adri annahu la adri (orang yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu).
Aku pribadi mengaku saja, aku golongan ke-2, karenanya aku tak cemas disebut ‘orang bodoh’. 🙂
Tetapi tampaknya Abang ICW.. ni tak termasuk semuanya Bang Yance. Karena sebetulnya ia “orang yang tahu, tapi pura-pura tak tahu”. 🙂
Benar begitu Abang-ku berdua..???
Ohya, Abang ICW.. Bang Yance kira-kira kategori yang mana ya.. he he
Brava buat kalian semua, thanks u ilmunya 🙂
Haha.. Saya melihat beberapa hal baru didirimu Hafidz.
1. Saya melihat kail yang ditebar banyak di kolam ajaib ini. Kamu mungkin berharap ikan memakan umpan, tetapi tak bisa menangkapnya;
2. Saya baru dengar kamu pakai topi sekarang. (katanya mau angkat topi kan?)
Baik gurindam tulang belulang, mitos Dewi Bumi yang bernama Gaia istrinya Dewa Zeus, atau cerita rakyat tentang Dewi Sri alias Dewi padi, menawarkan suatu dogma, ukuran, hukum dalam bentuknya yang lain dengan harapan kepatuhan dan kesadaran. Bernalar padanya adalah berargumentasi hukum juga.
Kontekstual? Tentu harus, sebab kontekstual tidak mewajibkan kesamaan. Relativitas tarik menarik antara yang norma dengan perilaku menjadi mahfum. Sehingga tidak hanya relatif, tetapi juga negosiable.
Suatu yang valid ternyata tidak tersimpan di dalam mitos, tetapi kompromi terhadapnya. Di sanalah mungkin konsensus menjadi kata kunci. Barangkali begitu juga soal PEREMPUAN dan kesetaraan jender. Bukan soal membunuh subjektivitas lelaki. Tetapi berelasi sama-sama sebagai subjek, intersubjektif.
Kembali untuk berkonsensus setelah sekian lama perempuan “didapurkan.” Pembagian peran dan kerja yang diukur dari kapasitas dalam “ruang” yang baru.
Kutipan Hafidz tentang “Orang Ampat Jinis” dari Al-Ghazali itu bukan pancing lagi, tetapi sudah menjadi jala yang akan mengkategorikan orang dalam pakem yang konstan. Tetapi begitulah manusia, selalu ada hasrat untuk merangkul dan melepaskan diri. Sebagaimana juga hasrat untuk berkuasa hanya akan ada bila pada orang lain terdapat hasrat untuk dikuasai.
Kontekstual dan pragmatis itu bersaudara tiri. Meskipun belum tahu jenis kelaminnya, yang pasti mereka satu bapak dari ibu yang berlainan, Poligami, atau mungkin sebaliknya, Poliandri.
Hehehe.
Oh iya, sudah baca Laskar Pelangi? Andrea Hirata mengutip bahwa Freud sampai mati tidak bisa memahami apa yang dimaksud dengan “perempuan” !!
Barangkali Freud salah pada permulaan melangkah dengan kaki kanannya. Lalu bagaimana seharusnya melangkah??? Perempuan yang merebut atau lelaki yang mundur teratur?
Kayak Capres Manula Vs Capres Balita aja !!!
salamualaikum, pak febri..
saya mampir “minum”, saya sedang “haus”, dan butuh bekal untuk “perjalanan…”
🙂 🙂
Perempuan..??
Masih belum ada ujungnya jga berdiskusi tentang hal ini, mungkinkah akan semakin memanjang dan melebar..? 🙂
Saya pikir perempuan harus beramal (dalam bahasa arab beramal berarti berbuat *kalau saya gak salah*), saya telah mamulainyakah?? entahlah…
dan tentu “berbuat” bukan untuk “membeli” kata sejajar dengan kaum laki-laki, tetapi memang perempuan seharusnya berbuat..
tentu saja bukan perbuatan dhalim… berbuat tidak harus dengan otot, bisa juga dengan nalar..
jadi perempuan jangan nrimo, tapi senanglah bersukur..
*halah, omong opo iki…??*
*mengelar tikar aja deh..* 🙂
😕
Abang ICW.. sebetulnya Bang Yance ini mestinya tahu kalau kampungku dekat hutan. Meski tidak juga jauh dari lautan, tapi aku tidak akrap dengan tradisi memancing. Aku bahkan ‘tidak bisa’ menggunakan kail, apalagi jala. Lagi pula untuk mendapatkan ikan, tidak harus dengan menangkapnya bukan..?!
Kalau Abang merasa tersangkut, kita bisa ’bantu’ lepaskan jerat jala ikannya. Sebagai perempuan yang hidup di tepi hutan, kami terbiasa dengan prosesi bercocok tanam, mencari dan menanam apa saja, termasuk akal budi dan amal perbuatan.. 🙂 seperti yang diidealkan ‘sang pendo(s)a’.
Salam kenal Mbak.. usul Anda boleh juga, tapi saya khawatir, dengan menggelarnya, kita malah akan terlipat dalam gulungan tikar.. 🙂
Dan itu tidak jadi soal, tikar plastik atau tikar pandan.. Abang, keduanya mempunyai sifat melipat dan menggulung.. hemmm
hehehe2
Yang beda hati para pemakainya Abang.. 🙂
@ pak febri
Tikar???
hehehe..kenapa membahas tikar..??
saya lebih suka yang dari pandan, karena baunya harum, tidak menimbulkan kringetan, dan semakin dipake semakin mengkilap dan nyess..!!dan yang paling menggoda adalah karena natural . 🙂 🙂
sedangkan yang dari plastik, memang lebih praktis, bisa dilipat-lipat tetapi kalau dah rusak akan menumpuk jadi sampah yang sulit diuraikan (membutuhkan waktu yang panjang). Kadang bisa alergi juga bagi yang kulit sensitip.. *hehehhe..apa pula ini..??*
hhmm..
mengenai melangkah dari mana..
tidak perlu menuggu laki-laki bila melangkah, kalau laki-laki mau bersama silahkan saja, asal se7an, perempuan tidak pengecut yang melulu tergantung pada laki-laki dan selalu membutuhkan.. *saya melencengkah..*
setahu saya sebagian dari laki-laki adalah keparat..*apa pula ini …*
@ hafidzohalmawaliy
salam kenal juga..
hhmmm…sepertinya saya menanggkap sesuatu dari kalimat anda, anda bukan sedang memancing atau menjala, tetapi seperti sedang memberikan rambu-rambu untuk menunjukkan sesuatu… 🙂
🙂 🙂 senyum ramah untuk anda..
“sebenarnya perempuan berasal dari kata “empu”, yang mengandung pengertian penuh kehormatan dan kesaktian. akan tetapi tidakkah pula dalam prakteknyamasih banyak perempuan Indonnesia yang benar-benar hidup hanya untuk melayani dan mengabdi pada suami belaka? (seperti juga apa yang pak febri tulisakan di atas) “. demikian kutipan dari pak Muchtar Lubis dalam pengantar nya pada novel Perempuan Di Titik NOL karya Nawal el-Sadawi..
Tetapi saya berpikir kembali, dari sudut mana ya kira-kira pak Lubis memandang? memang saya setuju dengan beliau, tetapi kemudian bertanya pada hati sendiri, mengabdi pada suami? salahkah? hinakah? tak bergunakah?
mungki benar kecantikan wanita adalah kutukan laki laki..,tapi wanita harus sadar bahwa kecantikan bukan segala nya .., dalam islam terang kan bahwa wanita boleh berhias hanya untuk suaminya,,