Mendung di Hari Anti Korupsi

“Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan segala tindak tanduk, pernyataan, dan kebijakannya justru berdiri pada posisi mengancam dan menghambat pemberantasan korupsi. Setidaknya terdapat lima poin besar mengenai resistensi DPR ini”

Dimuat di: Seputar Indonesia, Selasa 9 Desember 2008

1197299056hari-anti-korupsi1Seriuskah pemberantasan korupsi di Indonesia? Pertanyaan sederhana ini menjadi relevan di tengah gegap-gempita persiapan perayaan Hari Antikorupsi di Lapangan Monas, 9 Desember pagi ini.

Sayang,agaknya sulit menjawab “ya”. Penanganan kasus korupsi, baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun kejaksaan masih terjebak pada polarisasi arus politik (politisasi pemberantasan korupsi); kendati lebih banyak kasus yang diungkap, penanganannya tidak pernah tuntas.Hanya sepotong. 
Bahkan, cenderung diskriminatif.Pemenuhan norma United Nations Convention against Corruption (UNCAC) di Indonesiamasih jauh panggang dari api. Alih-alih berkontribusi positif,sejumlah kalangan di DPR justru menempatkan diri sebagai aktor penghambat pemberantasan korupsi. 

Jika pada 2007 lalu persoalan perang terhadap korupsi dapat dipetakan menjadi empat masalah, di tahun ini pun tidak terjadi perubahan mendasar selain “penambahan jumlah kasus dan tersangka”.Tapi bukankah peningkatan kasus korupsi adalah prestasi penegak hukum? Dalam beberapa hal “ya”,namun tetap harus diingat, konsep “against corruption” bukan sekadar memenjarakan orang sebanyak mungkin. 

Dari aspek kriminalisasi, misalnya, haruslah dilakukan dengan strategi prioritas, tuntas, dan roadmap yang jelas.Apakah penegak hukum memiliki roadmap dan rencana jangka panjang? Hingga kini baru KPK yang menyatakan pada publik tentang rencana,konsep,dan strategi jangka panjang pemberantasan korupsi. 

Sebaliknya, kejaksaan dinilai masih terjebak pada mindset jumlah kasus semata. Publik tidak melihat institusi adhyaksa ini memperhitungkan kualitas kasus yang ditangani. Penghentian (SP3) sejumlah kasus besar seperti BPPC yang melibatkan Tomy Soeharto,VLCC Pertamina, dan tidak kunjung jelasnya penanganan BLBI menambah catatan buram institusi kejaksaan. 

Pada saat yang sama,harus diakui masih ada jaksa yang mencoba bangkit dari keterpurukan.Sayang,kerja keras sebagian jaksa di berbagai daerah ternyata tidak didukung oleh komitmen hakim-hakim di Peradilan Umum.Menurut catatan ICW, dari 1.184 terdakwa kasus korupsi terpantau dan diajukan ke pengadilan, hampir 500 divonis bebas atau lepas. 

Tren putusan bebas ini pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2005, vonis bebas hanya dijatuhkan terhadap 22,2% terdakwa yang diajukan ke pengadilan tahun itu.Kemudian meningkat 32,13% di tahun 2006; 56,84% di tahun 2007, dan 53,06% dalam setengah tahun 2008. Pembacaan ini seharusnya menjadi cambuk dan semacam penagihan komitmen pada peradilan umum yang berpuncak diMahkamah Agung. 

Apalagi,rata-rata vonis kasus korupsi di peradilan umum dari tahun 2005 hingga pertengahan 2008 hanyalah 20 bulan. Bagaimana mungkin akan ada efek jera? Maka, agaknya penilaian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menempatkan peradilan Indonesia dalam posisi terburuk se-Asia ada benarnya.

Menurut catatan lembaga riset yang bermarkas di Hong Kong ini, Indonesia tidak pernah lepas dari posisi terburuk pertama di tahun 2004 dan 2005; kemudian naik satu tingkat berturut-turut pada 2006-2007, yakni posisi kedua dan ketiga; namun turun kembali menjadi dalam posisi terburuk pertama di tahun 2008 ini. 

Argumentasinya sederhana,Peradilan masih tertutup, akses keadilan dirasa sangat mahal dan sulit; dan tentu, karena begitu banyak kasus korupsi divonis bebas dan rendah di peradilan umum. Dari beberapa kali diskusi nonformal dengan rekan-rekan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, ternyata keluhan mereka pun sama. Beberapa kasus “korupsi besar”yang ditangani hampir selalu terancam berakhir bebas atau divonis rendah di pengadilan. 

Aktor Penghambat 

Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan segala tindak tanduk, pernyataan, dan kebijakannya justru berdiri pada posisi mengancam dan menghambat pemberantasan korupsi. Setidaknya terdapat lima poin besar mengenai resistensi DPR ini. Pertama, sikap, serangan balik, bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK setelah mulai banyaknya anggota DPR yang diperiksa dalam kasus korupsi. 

Kedua, penghapusan eksistensi hakim ad hoc pada revisi UU Mahkamah Agung. Hal ini salah satunya, tentu saja dapat dilihat bagian dari ancaman terhadap keberadaan hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) di Mahkamah Agung yang sering menjatuhkan vonis berat terhadap koruptor.

Ketiga, sikap pro-status quo mayoritas fraksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun,yang sama saja sebagai sikap antiperubahan, antiregenerasi, dan anti perbaikan di puncak kekuasaan kehakiman ini. Keempat,upaya mempertahankan klausul kewajiban adanya “izin pemeriksaan” bagi anggota MPR DPR, DPD, dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana.

Berlindung di balik logika “imunitas legislatif”, sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama di depan hukum dan mengarah pada strategi “kebal hukum”. Kelima, lambatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor. 

Dengan demikian, Hari Antikorupsi tentu akan lebih tepat jika diletakkan pada konteks evaluasi kinerja,dan dorongan yang lebih kuat menjebol tembok kekuasaan koruptif di sejumlah instansi pemerintahan dan legislatif di Indonesia. Bukan sekadar obral dan klaim prestasi penanganan kasus yang hanya dilihat dari kuantitas perkara yang diselesaikan.

Tidak adakah kabar baik? Dengan jujur, harus dijawab “ada”.Misalnya, meski masih terjebak pada kuantitas, tapi agak mengejutkan ketika Kejaksaan Agung ternyata mulai mencoba bangkit dan menangani beberapa kasus korupsi. “Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa,” sebut Chairil Anwar penyair kita.(*) 

Febri Diansyah

 

anti-penyadapan

sumber kartun:http://coretanpinggir.wordpress.com/

25 thoughts on “Mendung di Hari Anti Korupsi

  1. komen ah…

    you said…
    “Tren putusan bebas ini pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2005, vonis bebas hanya dijatuhkan terhadap 22,2% terdakwa yang diajukan ke pengadilan tahun itu.Kemudian meningkat 32,13% di tahun 2006; 56,84% di tahun 2007, dan 53,06% dalam setengah tahun 2008. Pembacaan ini seharusnya menjadi cambuk dan semacam penagihan komitmen pada peradilan umum yang berpuncak diMahkamah Agung.”

    …berapa persen kah angka yang ideal untuk putusan vonis bersalah dalam kasus korupsi? berapa persen vonis bersalah untuk kasus pencurian, pembunuhan, penggelapan, pencemaran nama baik, pidana anak dll?

    ada satu lagu dari bad religion
    “quality and quantity, don’t tell me they are same!”

    …atau mungkin kuhp kita sudah perlu direvisi, hanya dengan 2 pasal saja

    pasal 1
    Setiap orang yang disangka melakukan kejahatan dipidana dengan pidana penjara minimal 10 tahun

    pasal 2
    Undang-undang ini dinyatakan berlaku sejak 10 tahun yang lalu.

    Apa jadinya ketika pengadilan hanya menjadi tempat untuk menghukum orang? Apakah setiap orang yang dituntut dimuka pengadilan sudah tentu merupakan orang yang bersalah? …apa perlu kasus2 anshori terjadi lagi untuk mengingatkan kita?

    …kata orang inggris: becareful with what you wish, cause you might get it!


    wah usulmu keren tuh pak, terutama pasal 1. Tapi aku usul itu berlaku khusus untuk korupsi.
    meskipun cukup naif dan mensimplifikasi persoalan…
    hohohoho2…..

    tentang Putusan Hakim, (silahkan lah jadi pembela peradilan selalu, heehe2)…
    udah kuantitas vonis rendah, kualitas pun payah….

    apakah LeIP punya data tentang kualitas kasus korupsi???????
    kenapa tidak disampaikan pada publik saja…
    biar bisa berkontribusi lah…..
    🙂

    memang ada hakim yang masih baik (tapi seperti mencari jarum di tumpukan jerami)…
    apalagi jarumnya kecil, dan jeraminya numpuk beratus tahun…..

  2. leip memang selalu menjadi pembela peradilan. kenapa? karena peradilan seharusnya jadi benteng terakhir kita dari kemungkinan tindakan kesewenang-wenangan negara (baca : pemerintah). Kekuasaan tanpa kontrol, kekuasaan negara atas rakyatnya yang tanpa kontrol, itu lah akar korupsi. dan yang loe dorong sebenarnya adalah membuat negara semakin berkuasa atas rakyatnya. mungkin loe berfikir hanya dalam kerangka kasus korupsi, tapi implikasinya tidak hanya sebatas kasus korupsi, tapi semua jenis perkara pidana pada umumnya.

    …bagaimana dengan kasus pembunuhan anshori? ya loe akan bilang, masalahnya beda, itu pembunuhan bukan korupsi. …tapi…ah sudah lah. mungkin kita memang memiliki perspektif yang berbeda mengenai hak asasi manusia. …ya loe pernah nulis mengenai hak asasi koruptor…koruptor tak perlu hak asasi karena koruptor telah melanggar hak asasi orang lain. …tapi bagaimana kita bisa tahu seorang terdakwa benar-benar koruptor atau tidak, ketika pengadilan yang kita dorong adalah pengadilan yang harus selalu menghukum terdakwa, walaupun mungkin dia tidak bersalah? …”tapi jaksa pasti punya bukti yang kuat, ga mungkin jaksa akan mengajukan perkara jika tidak punya bukti yang kuat” …apa yang terjadi dikasus anshori? Sengkon-Karta? Linggah Pacah? dan mungkin ribuan kasus pidana biasa lainnya…tapi itu untuk kasus pidana umum…kasus korupsi? hmmm…pastinya jaksa serius menanganinya bukan? ga mungkin jaksa bisa salah…bagaimana jika jaksa salah?

    bagaimana jika jaksa salah?

    “Alamak, ternyata kita sudah membuat pengadilan sekedar tempat menghukum orang! Dimana ukuran keberhasilan pengadilan adalah seberapa banyak dia menghukum orang!” …mudah-mudahan suatu hari kita tidak perlu berteriak seperti itu, tidak perlu menyesali apa yang sudah kita dorong.

    ” Pak Arsil yang baik, aku ataupun ICW tidak akan pernah menyesal untuk dorong “Hukum Koruptor seberat-beratnya” 🙂
    Dan, tentang HAM,
    aku pernah tulis itu dari perspektif ANTINOMI.
    (kurang lebih berarti: pertentangan dua nilai atau lebih, keduanya sama-sama penting, namun harus ada yang didahulukan/diprioritaskan. Misal: Kepentingan Umum dan Kepentingan Individu))
    terutama ketika DPR mulai mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK, dan mendalilkan hal itu melanggar HAM.
    jika ada waktu, boleh baca (klik) “Musuh Pemberantasan Korupsi” (Kompas, 16 September 2008).

    Siapa tau pak Arsil akan lebih keberatan dengan tulisan itu, hehehe2

    thx komennya 🙂

  3. Bapak Krupuk Kulit yang terhormat, meski anda mengklaim bahwa Leip (dan termasuk anda) adalah pembela peradilan, bukan berarti Bung Febri musuh peradilan. Saya melihat justru apa yang dilakukan Bung Febri adalah memberikan kritikan membangun. Justru karena ingin peradilan menjadi baik, maka Pak Febri terus bersuara. Coba kalau dia itu adalah orang-orang yang skeptis, tentu dia tidak akan peduli pada jungkir baliknya peradilan kita.

    Kalau memang orang-orang peradilan kupingnya panas nggak terima, ada pertanyaan besar:
    1. apakah mereka panas kuping karena mereka memang bener-bener bersih, profesional, tidak main-main jual beli kasus sehingga mereka harus tersinggung?
    2. Apakah orang-orang peradilan itu panas kuping karena tidak mau lahannya diusik atau terganggu bisnis keadilannya?

    Kalau memang anda tidak melihat kekurangan di peradilan dan MA, wah wah wah, saya heran sekali sama sampeyan. Mbok ya jalan-jalan ke pengadilan, kasak-kusuk, melihat realita. Jangan hanya duduk di balik meja dan memakai kaca mata kuda untuk melihat pasal-pasal.

    Memang bener kata sampeyan, bahwa bukan berarti hakim yang membebaskan korupsi itu salah. Tapi coba deh dilihat kualitas putusan-putusan bebasnya itu. Dari pengamatan saya, pertimbangan-pertimbangan yang dibuat hakim seringkali ngaco semua atau dibuat-buat. Bagi orang yang biasa mencium ketidakberesan, mencium bau busuk putusan itu mudah sekali. Ibaratnya gini: orang kalau hidungnya normal, pasti dengan mudah dapat mencium bau kentut. Tapi kalau lagi pilek, ya nggak bakal mencium bau kentut meski baunya minta ampun. .

    Jujur, saya punya buanyaaaaaak pengalaman melihat praktek kotor plus duit-duitan di depan mata. Kalau di MA, ada tulisan orang berperkara tidak boleh menemui hakim. Seharusnya itu juga diterapkan di PN, dan PT. Namun kenyataannya, di hampir semua PN, saya melihat sendiri para pengacara ato pihak berperkara bertemu dengan hakim, entah di rumah, di restoran atau di pengadilan secara terang-terangan. hmm, banyak pula hakim yang crita pada saya dapat ini itu dari si anu si itu.

    Saya juga sering duduk-duduk dengan hakim, kemudian jaksa-jaksa datang ” pak saya nuntutnya setahun, nanti hukumannya 6 bulan saja ya”, kata si jaksa. “Aturlah,” jawab si hakim brengsek. Di sisi lain, ada juga jaksa crita bahwa dengan terpaksa harus menyodorkan tas berisi uang pada hakim. Atau bahkan wartawan yang ngepos di pengadilan ikut jadi calo.

    Ya, saya mah sekedar bunglon aja, pura-pura berteman, dan berasimilasi dengan kalangan hakim dan jaksa. Tapi tujuannya satu, mendengarkan agar bisa melihat keburukan mereka. Saya sih mencoba mengingatkan jangan bermain perkara karena pertanggungjawaban di akhirat berat. Eh, eh eh.. mereka dengan enteng menjawab. “saya kan tidak meminta. saya dikasih,” kelitnya. (Walah, kalau memang nggak diberi, apa iya dia akan memvonis ringan atau bebas. Bullshiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit!!). Pernah juga ada yang bilang “ya nanti sebagian saya zakatkan,” wekekekeke.. (memange Tuhan bisa diakali ??? Kalau dah zakat, apa iya dosanya diampuni. walah. itu kan bagian dari pencucian uang -versi UU TPPU) .

    Kesimpulane, peradilan kita wajar dikatakan buruk rupa oleh berbagai survey atau polling baik dalam maupun luar negri. Peradilan buruk disebabkan karena sistem buruk dan SDM buruk. So, selama peradilan kita masih seperti itu say apesan pada Bung Febri ” Maju teruuuuuuuuuuus…”

    “mas mata-mata, sepertinya anda sangat paham, pahit getirnya dunia peradilan. tapi, jangan terlalu sarkas lah, moso bilang pak Arsil pakai kacamata kuda. Yang ku tau, pak Arsil sering pakai kacamata hitam.

    btw, dituntut menggunakan UU ITE aja pak…hehehe2

    Dan, saya yakin, pak Arsil tidak suka mencium bau kentut…
    ada-ada saja, komentarnya 🙂

  4. pak febri yang juga baik,
    gue juga ga sepakat untuk menghukum koruptor seberat-beratnya. tapi bukan itu pointnya bukan? lembaga peradilan haruslah menjadi lembaga peradilan, bukan kepanjangan tangan dari penuntut umum…dan itu yang gue permasalahkan dari kutipan sebelumnya.

    …mengenai penyadapan. saat ini depkum dan menkominfo sedang membahas PP mengenai penyadapan (gue punya dokumennya). Setelah gue pikir-pikir lagi, terutama setelah munculnya UU ITE, UU Pornografi, dan nanti akan ada lagi UU Cybercrime, masalah penyadapan akan menjadi masalah yang krusial. Kewenangan ini memang sudah harus diatur secara jelas, untuk menghindari kesewenang-wenangan negara terhadap kita, warga negara. ya, loe mungkin ga akan sepakat dengan gue. tapi urusan penyadapan bukan lah urusan setingkat PP, namun memang harus setingkat UU, karena hal ini menyangkut hak asasi, hak atas privasi dan kebebasan berkomunikasi (kecuali kalo kita mau negara ini model 1984 nya George Orwell). …ya tapi itu materi yang berbeda, yang mungkin perlu kita diskusikan lebih jauh dalam kesempatan yang berbeda.

    gue uda baca lagi tulisan loe tentang antinomi. ya, dalam hal terjadi dua nilai yang bertentangan harus ada penangguhan atas salah satu nilai diantaranya. dalam upaya penegakkan hukum maka negara diberikan kewenangan untuk menangguhkan salah satu hak asasi manusia, misalnya hak atas kebebasan bergerak, hak atas privasi dan kebebasan berkomunikasi dll yang kemudian kewenangan tersebut diberi nama dengan upaya paksa. Namun kita sebagai warga negara memerlukan juga perlindungan dari kemungkinan dipergunakannya kewenangan tersebut secara sewenang-wenang. Untuk itu lah maka setiap kewenangan upaya paksa yang dimiliki oleh pemerintah harus dapat dikontrol oleh kekuasaan yang lain, yaitu kekuasaan yudikatif. Namun apa daya saat ini kontrol tersebut semakin melemah, dan secara tidak sadar kita terus membuatnya menjadi lemah, salah satunya dengan mendorong agar pengadilan hanya menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah (penuntut umum, penyidik, KPK dll).

    dalam konteks penahanan misalnya, paradigma yang berkembang saat ini di institusi negara adalah bahwa setiap tersangka haruslah ditahan, kecuali ada alasan yang kuat yang membuat dia tidak di tahan. padahal prinsip yang harus kita junjung tinggi adalah setiap orang tidak boleh ditahan, kecuali ada alasan yang kuat untuk menahannya. …tapi apa yang terjadi saat ini? paradigma negara yang salah tersebut telah merambah juga ke kita, civil society. coba perhatikan tuntutan-tuntutan publik, bahkan advokat!!! pihak yang seharusnya menjaga agar kewenangan penegak hukum semakin dibatasi. setiap kali ada kasus pidana maka publik menginginkan agar tersangka di tahan, begitu juga para advokat. …sory agak meleber kemana-mana…lagi agak gundah aja dengan kondisi yang ada.

    …korupsi…ya saat ini dia menjadi musuh masyarakat. melihat foto pram di blog loe gue jadi ingat bagaimana persepsi publik terhadap PKI pada akhir tahun 60-70an. tak ada orang yang tidak menganggap bahwa PKI itu adalah musuh masyarakat. tak ada yang namanya fair trial dalam persidangan-persidangan kasus PKI. tak ada advokat yang mau membela hak para tersangka pada saat itu, kecuali Yap Thiam Hien dan gerombolannya. …dan kita rasakan saat ini akibatnya ketika fair trial dilupakan. …mudah-mudahan bukan ini yang sedang kita lupakan saat ini.

    …akhir kata, bangsa ini saat ini sedang sakit, institusi negara sakit, aparat sakit, politisi sakit, masyarakat kita pun sedang sakit. apa perlu kita ikut-ikutan sakit? Ada prinsip-prinsip yang tetap harus kita pegang untuk menjaga agar kita tidak ikut sakit. salah satu prinsip yang tetap coba dipegang oleh leip adalah prinsip fair trial…tapi prinsip tersebut tak akan pernah menjadi kenyataan ketika pengadilan dengan alasan apapun didorong untuk menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah.

    “kalau aku dah jadi advokat saat itu, pasti aku akan bela Pram…tapi, sayangnya..bapak ibu ku pun saat itu masih ingusan, hehehe2”

  5. bung febri dan bung mata-mata-hakim-brengsek…
    tidak ada yang tidak sepakat kondisi peradilan dan hakim kita saat ini seperti yang anda bilang…tapi bukan itu pointnya. anda coba perhatikan kutipan yang saya kutip dari tulisan bung febri. sekali lagi akan saya kutip:

    “Tren putusan bebas ini pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2005, vonis bebas hanya dijatuhkan terhadap 22,2% terdakwa yang diajukan ke pengadilan tahun itu.Kemudian meningkat 32,13% di tahun 2006; 56,84% di tahun 2007, dan 53,06% dalam setengah tahun 2008. Pembacaan ini seharusnya menjadi cambuk dan semacam penagihan komitmen pada peradilan umum yang berpuncak diMahkamah Agung.”

    Apa arti dari pernyataan diatas? Hakim yang benar adalah hakim yang menghukum setiap terdakwa dalam kasus korupsi. apa artinya yang demikian kalau kita tidak menempatkan pengadilan hanya sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah? apa yang kita dorong? justru semakin memperkuat kedudukan kekuasaan negara terhadap warganya, bahkan tanpa kendali.

    masalah korupsi di negara ini bukan karena lemahnya negara, namun justru karena terlampau besarnya kewenangan negara terhadap warga negaranya sendiri. kenapa terjadi korupsi diurusan penahanan? karena kita sebagai warga tidak punya sarana hukum yang memadai untuk bisa menchalange apakah penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum beralasan atau tidak, yang ada hanyalah formalitas belaka. diskresi aparat terlampau besar, khususnya pada penyidik. besarnya diskresi tanpa kontrol ini yang membuat korupsi terjadi khususnya diwilayah penyidikan. jual beli pasal akhirnya terjadi, kenapa? karena tak ada orang yang mau ditahan, dan tak ada sarana untuk dapat secara layak untuk bisa menchalange apakah penggunaan diskresi tersebut dipergunakan secara patut atau tidak. ini soal kewenangan penahanan.

    soal kewenangan penuntutan, masalahnya juga kira-kira sama. ditambah lagi penuntut juga memiliki kewenangan melakukan penahanan yang tanpa kendali tersebut. …dan masih banyak lagi kewenangan pemerintah yang dimiliki khususnya dibidang pidana tanpa adanya kendali yang layak…dan yang kita lakukan justru memperlemah pengadilan yang seharusnya menjadi penyeimbang dari kekuasaan eksekutif tersebut. apa bukannya kita bikin negara ini jadi tambah korup namanya?

    …apa banyak tersangka yang kabur itu karena JPU lemah atau kewenangannya tidak memadai? hehehehe….naif sekali anda kalau percaya ini. Pemerintah kita sangat-sangat powerful 10 tahun lalu dan tahun2 sebelumnya…saat ini? hehehe, KUHAP nya masih sama, orang-orangnya masih sama, kewenangannya masih sama…

    saya bukan pembela hakim-hakim yang ada saat ini, tapi statement febri yang saya kutip tadi sama seperti membakar lumbung padi untuk menangkap tikus yang ada didalamnya. statement tersebut justru membuat posisi kita sebagai warga negara semakin lemah, kita justru memperkuat kekuasaan negara khususnya pemerintah yang seharusnya kita batasi.

    …peradilan kita wajar dikatakan buruk, saya sangat-sangat-sangat-sangat sepakat. tapi menghancurkan prinsip hukum (fair trial dll) yang ratusan tahun didirikan dengan darah dan keringat untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan negara apa ya sepadan? apa bukan bunuh diri namanya?

    …dengan besarnya kewenangan pemerintah (aparat penegak hukum khususnya polisi dan jaksa) apa anda yakin bahwa seluruh orang yang duduk sebagai terdakwa adalah terdakwa yang sesungguhnya, bukan orang yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan pelaku yang sebenarnya? saya tidak bilang bahwa seluruh terdakwa yang dibebaskan bukan pelaku yang sebenarnya. namun jika kita dorong pengadilan hanya sebagai lembaga penghukum, atau stempel pos dari JPU…wasalam. ini yang yang sedang didorong oleh bung febri melalui statemennya tersebut, sadar atau tidak sadar. dan karena inilah maka saya memberikan komentar2 seperti ini.

    kita boleh dan harus benci dengan korupsi, tapi kita musti hati-hati, apakah yang kita lakukan dan advokasikan sebenarnya produktif atau justru kontraproduktif dalam upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.

    bung mata-mata hakim brengsek, saya tidak memandang bung febri sebagai musuh peradilan, kalau ya tentu tidak mungkin saya dan bung febri duduk bersama dalam koalisi pemantau peradilan. saya sangat yakin kami memiliki tujuan yang sama, namun dalam langkah-langkahnya kita harus berani untuk saling mengingatkan, melakukan kritik dan otokritik, semata agar tujuan kita bersama bisa benar2 terwujud.

    “Pak Arsil yang baik,
    nama saya jangan disandingkan dengan mata-mata hakim brengsek donk…karena menurut saya ID itu aneh, misal: agak tidak jelas, apakah yang brengsek hakimnya, atau mata-mata nya???? nah….
    atau, sekalian bilang aku dan si Om mata-mata sama-sama brengsek…
    hehehe2 becanda pak…”

  6. buat bung krupuk kulit, kok merasa tersindir sih? kan saya ndak ngasih koma dibelakang nick -mata mata hakim, brengsek – hehehehe….

    oya, soal tulisan sampeyan di paragraf 7 “saya bukan pembela hakim-hakim yang ada saat ini, tapi statement febri yang saya kutip tadi sama seperti membakar lumbung padi untuk menangkap tikus yang ada didalamnya. statement tersebut justru membuat posisi kita sebagai warga negara semakin lemah, kita justru memperkuat kekuasaan negara khususnya pemerintah yang seharusnya kita batasi.”

  7. eh tulisane terlanjur kepencet…. hehehe…
    menurut saya, kalau lumbung padinya ternyata isinya tikus semua dan padinya kosong, ya di bakar aja pak.. xixixixi..

  8. bakar lumbungnya? setuju, gampang itu. terus kita revisi KUHP seperti usulan saya diawal, cuman 2 pasal aja, hemat kertas pula. tambah kewenangan jaksa dan polisi, kalo perlu kita usulin petrus ada lagi, kalo perlu ga perlu ada KUHAP, boros kertas. setali tiga uang namanya, korupsi hilang, hutan ga gundul lagi.

    atau mungkin pengadilan tetap ada, tapi seperti jaman dulu aja, kalo jaksa ga bisa membuktikan maka terdakwa harus dilelepin disungai lehernya diiket sama batu untuk benar-benar membuktikan kalo dia tidak bersalah. kalo memang dia ga bersalah maka tuhan pasti akan melindungi dia. kalo ternyata dia mati berarti dia memang bersalah, kalo bisa tetap hidup berarti dia ga bersalah. …hmmm…menarik juga. :p

  9. wekekekekeke….
    pendapat terakhir pak krupuk (ato pak kulit? ), bagus juga.. cukup progresif, inovatif . hehe. ternyata sampeyan sadis juga ya pak.. nggak nyangka ck ck ck 🙂 nah, kalau saya itu orangnya pecinta damai pak. saya kan termasuk penggemar slank ‘PEACE MAN’.. 🙂

    kembali lagi ke soal hukum, ada teori yang mengatakan bahwa hukum tertulis itu akan selalu ketinggalan perkembangan masyarakat. ya, saya sih setuju banget soal itu. la wong kalau kita lihat proses di DPR kita juga kacau gitu. Itu ndak bisa dilepaskan dari masalah SDM, buanyak anggota DPRnya yang nggak punya otak (segelintir yang otaknya intel pentium Core 2 Duo selebihnya masih celeron kuno) dan yang punya komitmen beneran cuma sedikit trus nuansa politik kepentingan ato politik duit-duitane juga kenceng. so, the point is, karena akan selalu ada celah dalam perundangan tertulis (dan itu dimanfaatkan para koruptor, penjahat lain, dan pengacaranya), makanya kita jelas menempatkan diri dimana. Kalau kita melihat hukum ideal, uu yang sempurna, trus kalau kita saat ini menganggap aparat hukum termasuk hakimnya bagus, berkualitas dan profesional , walaaaaaaaaaaaaaah jauh panggang dari api pak. bukane saya skeptis, tapi kok kayak pungguk merindukan bulan..

    jadi kalau tulisan pak febry mengkritik soal banyaknya putusan bebas, ya wajar wajar saja la wong segitu banyaknya hakim brengsek kok. Sekarang saya ganti nanya nih. Febry kan menulis dari sisi negatif untuk mengkritisi. Nah, akan berbeda ceritanya kalau yang ditulis berbalik 180 derajat. Misale gini, Febry kan nu lis : “Pada 2005, vonis bebas hanya dijatuhkan terhadap 22,2% terdakwa yang diajukan ke pengadilan tahun itu.Kemudian meningkat 32,13% di tahun 2006; 56,84% di tahun 2007, dan 53,06% dalam setengah tahun 2008. Pembacaan ini seharusnya menjadi cambuk dan semacam penagihan komitmen pada peradilan umum yang berpuncak diMahkamah Agung.

    nah, akan beda ceritanya kalau perspektifnya dirubah jadi gini: Pada 2005, vonis bersalah dijatuhkan terhadap 77,8 % terdakwa yang diajukan ke pengadilan tahun itu. Kemudian menurun 67,87 % ditahun 2006, 43,16 % ditahun 2007, dan 46,34% dalam setengah tahun 2008. Pembacaan ini telah menunjukkan komitmen pada peradilan umum yang berpuncak di Mahkamah Agung.

    Wekekekekeke…. Kok rasanya nggak pantes banget peradilan dan MA dipuji sedemikian rupa. Kalaupun peradilan umum memvonis, (coba ditengok lagi) mayoritas hukumannya juga kecil, bahkan banyak pula yang nggak tau malu memvonis percobaan meskipun hakim menyatakan yang terbukti adalah pasal 2 atau 3 yang hukuman minimalnya sudah tercantum jelas.

    Contoh lain misalnya hakim selalu mengklaim mempunyai independensi sehingga tidak dapat diganggu gugat (mesipun main-main perkara, meskipun dapat duit/ hadiah, meskipun pertimbangan ngaco, meskipun nggak gitu-gitu amat menguasai hukum). hmmm.. disatu sisi, saya ‘MENGGUGAT’ para hakim yang selalu berlindung dibalin independensi yang salah kaprah itu. Memang benar, independensi hukumnya WAJIB AIN lah. tapi dalam konteks ‘independen dalam memutus, tanpa pengaruh kepentingan politik, tanpa pengaruh disetir atasannya, tanpa pengaruh uang dll dll). Disitulah independensi harus ditegakkan. Tapi kalo mengaku independen, tapi trima ini itu. Ya omong kosong namanya.

    So, disitulah kita harus menunjukkan keberpihakan.

    Buat Bung Febry,
    jangan GR ya. saya ndak mbela sampeyan lo. Saya cuma menyuarakan isi hati yang gundah gulana melihat begitu buanyaknya hakim-hakim brengsek, jaksa brengsek, polisi brengsek, pengacara brengsek dan orang brengsek lainnya. hehehe
    (tapi saya tidak termasuk lo )

    Salam hangat dari balik meja
    mata-mata hakim brengsek.

  10. ehm…ehm…
    ada beberapa catatan saya mengenai masalah ini,
    1. Advokasi publik. Mungkin saya kurang mengeksplor masalah ini sebelumnya, maafkan saya. Data prosentase tersebut oleh bung febri dimasukkan dalam konteks advokasi publik. Ada tujuan dibalik advokasi tersebut, tujuan utama dan tujuan antara. Tujuan utamanya tentunya menghilangkan atau mengurangi korupsi yang terjadi di negeri ini. untuk tujuan ini saya sangat sepakat.

    Tujuan antara. tujuan dari tulisan tersebut tentunya untuk membentuk opini publik, dengan harapan ketika opini publik tersebut telah terbentuk maka diharapkan akan mendekatkan pada tujuan utamanya. Nah, disini yang menjadi permasalahan, opini publik apa yang hendak kita bentuk, bagaimana publik akan mempersepsikan fungsi dan kewenangan pengadilan atau bagaimana pengadilan seharusnya berfungsi di masyarakat?

    Masuk ke konteks prosentase bebas-vonis. Dari data2 tersebut tentu persepsi publik yang ingin dibentuk adalah bahwa fungsi dari pengadilan adalah menghukum setiap terdakwa dipengadilan. Kita musti ingat bung, tidak semua orang paham masalah hukum, seperti halnya saya tidak paham masalah ekonomi, medis atau yang lainnya. Nah, publik seperti apa yang ingin kita bentuk dari advokasi seperti ini? Publik yang mempersepsikan bahwa fungsi pengadilan adalah untuk menghukum orang? …bukankah ini namanya bunuh diri massal?

    Mungkin anda bisa bilang bahwa ini kan hanya untuk kasus korupsi. mungkin ya, tapi apa jaminannya bahwa persepsi publik itu hanya akan terbentuk khusus untuk perkara korupsi tidak untuk perkara pidana pada umumnya? Tak usah kita bicara beda kasus korupsi dengan kasus pidana umum, lha wong banyak orang yang mikir pengadilan itu pokoknya ada polisi, jaksa dan hakim kok, kalo ga ada itu namanya bukan pengadilan.

    Saya tidak ingin mengatakan bahwa masyarakat kita bodoh. saya hanya ingin mengatakan bahwa kita semua pintar untuk masalah yang kita geluti dan dalami, tapi mungkin bodoh untuk masalah yang tidak kita kuasai. Itu manusiawi, ga mungkin semua orang paham semua masalah. nah, itu yang musti kita ingat kalo mau membentuk opini publik. Apa artinya kita tidak bisa mengungkapkan opini kita? tentu bisa dan harus boleh, ga ada dan ga boleh ada yang melarang. Kita memang tidak bisa 100% mengontrol opini publik yang akan terbentuk, tapi kita bisa meminimalisirnya. Dengan cara apa? Taat asas. itu aja, simpel kok. Asas-asas hukum umumnya dibangun untuk melindungi kita sebagai warga negara dari potensi kesewenang2an kekuasaan. ya asas praduga tak bersalah kek, asas legalitas kek, macam2lah. Sekali kita “perkosa” asas itu untuk satu hal, maka sebenarnya sedang “memperkosa”nya untuk hal2 lainnya.

    2. Arti dan fungsi data2 prosentase putusan. Data2 seperti yang diungkapkan oleh bung febri tentu bukannya tak berarti. Data2 seperti itu kita butuhkan untuk mendeteksi adanya suatu masalah dalam suatu sistem. Prosentase bebas-vonis itu hanyalah menunjukkan adanya suatu gejala masalah, belum menunjukkan letak masalah. data seperti ini kan biasanya digunakan kriminolog, jadi misalnya angka kejahatan meningkat maka berarti ada sesuatu yang salah di negara tsb, tapi juga kalo terlalu rendah maka mungkin juga berarti ada masalah, misalnya lemahnya penegakkan hukum (negara yang tingkat kejahatannya 0 bisa jadi masalahnya karena ga ada polisi di negara itu, hehehe). namun bisa juga berarti bahwa negara tersebut memang sudah sejahtera. intinya data2 seperti itu belum berarti banyak sebelum dihubungkan dengan data2 yang lain. Kesalahan atau “ketidakbijakan” kita dalam menggunakan data bisa berakibat fatal (lihat catatan no.1).

    3. Potensi ekses yang mungkin timbul dari penggunaan data seperti yang saya kutip dari tulisan bung febri adalah terbentuknya persepsi publik yang salah mengenai fungsi dari pengadilan. pengadilan seakan hanya menjadi tempat menghukum orang, setiap terdakwa yang dibawa ke persidangan sudah harus dianggap salah. .

    …data terakhir yang saya ketahui dari data kejaksaan kalo ga salah rata2 kasus korupsi pertahunnya 500-600 perkara, sementara kasus pidana pada umumnya yang masuk ke pengadilan sekitar 130ribu s/d 150 ribu pertahun. Katakanlah 1 perkara = 1 orang. Dengan advokasi seperti yang coba dibangun oleh bung febri berarti kebencian kita terhadap 600 orang dapat menciptakan ketidakadilan untuk 130 s/d 150 ribu orang lainnya. Bijak kah kita? (mungkin ya kalo kita beranggapan bahwa semua terdakwa pasti memang penjahat).

    …apakah saya sedang membela koruptor atau hakim? anda jawab sendiri.

    sekian dulu.

  11. agak bingung dengan perhitungan pak Arsil nih 🙂
    500-600 orang dijadikan tersangka dalam dugaan korupsi per:tahun.
    dan kemudian dibandingkan dengan Kasus Pidana Umum yang berjumlah 130 ribu.

    kemudian dikatakan lagi”kebencian kita terhadap 600 orang dapat menciptakan ketidakadilan untuk 130 s/d 150 ribu orang lainnya”
    kok ya ga nyambung ya………

    tulisan diatas bicara khusus tentang korupsi pak Arsil…
    dan, jika dikatakan ada kemungkinan pembaca memahami lebih luas, bahwa tidak komitmennya peradilan juga mencakup kasus lainnya…kok ya menurut saya terlalu naif…

    mohon maaf, analisis “pesan media” seperti yang dihipotesakan pak Arsil tidak bisa dengan mudah dilakukan. Ia harus melewati proses riset panjang. So, tidak valid rasanya jika hanya menggunakan logika pribadi untuk menilai logika ratusan ribu atau bahkan jutaan pikiran orang lain.

    Secara teoritis ada analisis Framing, ada metode survey (yang bahkan sevalid apapun diatas kertas tetap saja memperhitungkan margin of error)..
    Lha..bgm mungkin pak Arsil dengan sangat mudah mengatakan masyarakat akan berpikir “seperti pikiran” pak Arsil setelah baca tulisan tersbeut???

    Tentang Citra thd PENGADILAN….
    mohon maaf (lagi) pak Arsil….
    Kebusukan dan PErsekongkolan untuk kepentingan segelintir orang terlihat sangat vulgar…
    So, yang dilakukan sekarang -dari perspektif advokasi- adalah meruntuhkan legitimasi kelompok status quo yang kebetulan sangat menguasai lembaga peradilan kita mulai dari tingkat Mahkamah Agung.

    Pengadilan memang bukan tempat menghukum orang.
    Ia seharusnya menjadi tempat sebuah kebenaran diuji.
    Namun, jika lembaga itu diselenggarakan dan dipimpin hakim busuk, maka putusan lebih hanya akan menjadi “pembenaran” terhadap perbuatan koruptif…

    Pikiran dan Analisis yang diletakkan “DI RUANG HAMPA” memang akan bicara sama dengan apa yang pak Arsil katakan…
    Tapi, dunia nyata ini lebih carut marut pak..

    Aku belum makan siang…
    apa karena itu bisa nulis serius…
    hehehe2

    c u pak Arsil yang baik…
    🙂
    cobalah sesekali berperkara di pengadilan…
    atau lakukan riset lapangan (bukan text book) di beberapa peradilan..
    (toh, LeIP adalah Lembaga yang memang fokus di bidang Peradilan)…
    kan bisa gunakan metode sampling tuk pilih PN mana yang bisa dipilih…
    aku tunggu hasil riset teman-teman…
    🙂
    mungkin bisa memperbaiki mainset ku

  12. halo lagi pak febri…
    ga perlu riset yang mendalam untuk mengetahui seberapa parah kondisi sistem peradilan kita, hehehe, gini-gini gue kan juga mantan volunteer lbh.

    tapi gue tidak sedang mempermasalahkan masalah kondisi pengadilan kita, tapi justru bagaimana kita men’shape pengadilan kita, bagaimana advokasi yang sedang kita lakukan, dalam hal ini opini yang loe muat di meda (dan beberapa kali press confrence). Mungkin memang bukan tujuan loe untuk membentuk pengadilan seperti yang gue tulis sebelumnya, yaitu membuat pengadilan menjadi hanya tempat penghukuman semata, tapi menurut gue itu ekses yang mungkin timbul dari pernyataan-pernyataan seperti yang gue kutip sebelumnya.

    pernyataan mengenai prosentase ini memang bukan kali ini diungkapkan, bahkan terlalu sering baik icw maupun teman2 kita lainnya memberikan pernyataan seperti ini. saking seringnya mungkin kita sudah ga sadar lagi apa akibat atau ekses yang mungkin timbul dari pernyataan seperti ini. dan bukan kali ini sebenarnya gue ‘mengkritik’ pernyataan seperti ini. gue inget sekitar 2 tahun (pasnya gue lupa, apa 2 atau 3 th lalu) yang lalu gue juga mengkritik esson. beberapa bulan lalu waktu kita advokasi pengkor juga gue juga kira-kira menyatakan hal yang sama. jadi bukan barang baru sebenarnya kritik gue ini.

    apakah pernyataan prosentase bebas-vonis tidak punya efek? …sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu bagir dalam laporan tahunannya seakan secara khusus “menanggapi” pernyataan esson soal prosentase bebas-vonis tsb. Tanggapannya kira-kira begini “kita sudah mengkoreksi putusan-putusan bebas dari yang dijatuhkan oleh pn dalam kasus-kasus korupsi, dari sekian perkara yang dibebaskan kita sudah jatuhi hukuman. ” kira-kira seperti itu. gue inget karena setelah itu wartawan kumon coba nyari data soal prosentase putusan2 kasasi yang membatalkan putusan bebas di tingkat PN.

    apa artinya? IT WORKS!!!

    loe bisa coba cek juga putusan-putusan korupsi yang ada di putusan.net, mayoritas adalah putusan yang menghukum terdakwa atau menolak kasasi dari terdakwa. kenapa? apakah artinya memang semua kasus korupsi dihukum di tingkat kasasi? bukan, belum semua putusan di upload, dengan keterbatasan waktu dan tenaga tentu MA harus memilih putusan yang akan di upload. pertanyaannya kenapa putusan yang diupload rata2 yang menghukum? ada pesan ‘tersembunyi’ dibalik itu, apa itu? “Lihat, kami telah memenuhi apa yang kalian tuntut!”, apa yang kita tuntut? menghukum semua terdakwa kasus korupsi.

    Dalam kasus yang lain dan dalam masalah yang lain ada cerita dari temen gue yang merupakan seorang advokat. pada suatu hari dia nanganin kasus kecelakaan mobil hingga tewas. sang sopir yang menabrak hanya orang biasa, supir biasa, orang miskin biasa yang punya anak istri yang sedang menunggu dirumah. awalnya karena kasian sang supir tidak ditahan sama polisi, karena tokh dia ga akan kabur. tapi tiba-tiba kasus itu jadi perhatian publik, kasusnya masuk tv dan koran. Apa yang terjadi selanjutnya? sang supir jadi ditahan. kenapa? karena sang penyidik takut disangka disuap karena tidak menahan tersangka. nasib seorang supir yang bukan siapa-siapa harus meringkuk ditahanan hanya gara-gara sang penyidik takut disangka disuap karena tidak melakukan penahanan yang seharusnya tidak perlu? ck ck ck…mudah sekali mencabut hak asasi seseorang dinegeri ini.

    Kenapa masalah ini terjadi? apa ada hubungannya dengan catatan gue diatas? secara langsung tidak. tapi kasus penahanan itu terjadi karena selama tekanan publik (termasuk kita) agar setiap tersangka kasus korupsi ditahan. Apa imbas dari tuntutan ini? “jika tersangka tidak ditahan berarti penyidik salah. Jadi kalo ga mau dicurigai ada apa2nya ya ditahan aja setiap tersangka, atau bikin kasusnya jangan sampai masuk media.”

    Penahanan sebagai last resort, upaya paksa yang seharusnya dikenakan dalam keadaan yang terpaksa kini seakan sudah menjadi kewajiban. Kenapa seharusnya last resort? karena pada prinsipnya upaya ini merupakan satu bentuk perampasan hak asasi manusia yang paling dasar, hak atas kemerdekaan. Coba loe perhatikan kasus ananda mikola, cek pernyataannya para lawyer tsb, cek juga dalam kasus2 pidana lainnya. “Tidak ada alasan bagi penyidik untuk tidak menahan para tersangka, karena bukti-bukti sudah menunjukkan adanya tindak pidana, dan perbuatan tersebut termasuk dalam delik2 yang dapat dikenakan penahanan!” …bagaimana dengan syarat yang lain? dikhawatirkan akan melarikan diri, menghancurkan barang bukti, atau mengulangi perbuatan? …suatu syarat yang sudah dilupakan orang, sudah jadi “klausula baku” dalam penahanan saat ini. (dan usman kontras ikutan di kasus itu, kemudian dia bikin advokasi anti-torture. Lha, torture biasanya ada dimana kalau bukan di tahanan???)

    (kita ingin agar habeas corpus act diterapkan di indonesia? hahahaha…tidak akan pernah mungkin terjadi jika yang didorong oleh publik sendiri adalah agar setiap tersangka ditahan.)

    Kenapa gue cerita masalah ini? karena ternyata ada korelasi antara bagaimana advokasi yang dilakukan dalam kasus korupsi dengan kasus-kasus pidana lainnya. …jadi ada hubungannya antara 600 kasus dengan 130-150 ribu kasus seperti gue tulis sebelumnya.

    …dalam kasus lainnya, ada temen juga yang lawyer nanganin kasus illegal loging. siapa yang jadi tersangka? seorang petani yang ngambil kayu ditanahnya sendiri untuk jadi kayu bakar. karena illegal loging itu kasus besar, maka katanya ada kebijakan dari polri untuk menahan setiap tersangka kasus illegal loging, tanpa terkecuali. apa yang terjadi kemudian? sang petani ditahan karena mengambil kayu dari tanahnya sendiri, hanya karena persepsi publik bahwa setiap tersangka harus ditahan. Siapa yang membentuk persepsi itu? polisi? hehehe. “ya kan nanti juga bisa bebas di pengadilan”. mungkin ya, tapi setelah sekian bulan meringkuk di tahanan. (hmmm…berapa prosentase putusan bebas di kasus illegal loging ya?…hehehe kayaknya perlu kita advokasikan juga tuh)

    (kalo ada bagian2 yang kelihatannya ga nyambung harap maklum, karena waktu nulis terpotong2 dengan diskusi dengan anak pshk). bacalah dengan menggunakan hati dan pikiran, hehehehehehehehe.

  13. Untuk Illegal Logging:
    66,83% terdakwa divonis BEBAS….

    tapi kita gunakan klasifikasi Aktor (Mastermind/Top Level dan Operator Lapangan/bottom level)…

    76,10% yang dijerat hanya Operator Lapangan (di hutan dan di kapal), petani dan penduduk yang nyuri kayu….

    Mastermind (terdiri dari: Perwira Polisi, Jaksa, Pejabat Dishut, Direktur, Kontraktor dan Cukong) hanya 23,90 %

    Sayangnya….
    Untuk Aktor Level Atas (mastermind), 71,43% divonis Bebas dan 14,29% divonis dibawah 1 tahun.

    Nah, kalau mau Pak Arsil bisa hitung bagaimana Putusan MA terkait Illegal Logging ini…..

    minimal dari yang terpantau (bisa diakses) dan yang dah ada putusannya…..

    coba deh itung…..

    kita memang sengaja menghitung ini…
    dan kalau memang sejak 2-3 tahun lalu, pak Arsil sudah sampaikan kritik pada pak Eson terkait putusan Bebas kasus korupsi…dan sampai sekarang kita masih lakukan itu, mungkin icw anggap kritik tersebut tidak terlalu substansial untuk advokasi anti korupsi…

    itu perkiraanku saja, pak…

    salam,
    sampai jumpa besok 🙂

  14. ya gue udah liat putusan2 illog di putusan.net, bahkan gue uda download hampir semua. mayoritas memang supir truk, petani dll, jarang yang pelaku sebenarnya. (pekerjaan sambilan gue sehari-hari adalah membaca putusan MA bung).

    ya, kalo kebijakan ICW memang seperti itu ya sutra lah, gue ga bisa maksa juga. …tapi mungkin suatu saat kita perlu duduk bersama, mencoba melihat permasalah dalam dunia peradilan ini secara lebih luas dan komperhensif. Mencoba mencari persamaan persepsi di antara kita sendiri, KPP, atas apa yang menurut kita masalah terbesar dalam sistem ini, dan peran-peran apa dari masing-masing lembaga yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga kita tidak lagi sekedar menggaruk permukaan saja (mudah2an sih sekarang tidak). Gue pribadi sudah “selesai” dengan model pendekatan yang selama ini leip lakukan, tutup buku, tinggal menyelesaikan PR yang masih ada, selanjutnya kita akan cari metode dan pendekatan baru, insya allah.

    …tapi bukan berarti leip akan bergabung dengan pendekatan “di luar” seperti yang selama ini ada. kita pikir pendekatan seperti itu selama ini juga belum terlalu efektif, harus ada terobosan baru. Pendekatan “main diluar” vs “main didalam” mungkin sudah usang (karena 22nya sama-sama cuman main-main doang ternyata, hehehe), istilah itu cuman jebakan batman. kita harus cari cara yang tidak lagi konvensional. mungkin loe bisa coba baca2 catatan2 gue di blog gue. agak sedikit rumit memang bacanya, karena gue tulis dalam gaya yang tidak konvensional, bahkan sedikit berantakan, seperti chaosnya sistem yang ada di negeri ini. chaos se chaos-chaosnya (ternyata). amburadul dul dul dul. kalo sempet besok kalo kita ketemu gue kasih analisis awal gue soal masalah ini, dan kenapa i insist you to stop that kind of advocacy model.

    c u nanti pagi.

    “nah, karena kita percaya dengan LeIP yang rajin baca putusan MA, makanya akan lebih baik disebarluaskan hasil risetnya…itung2an illog misalnya…

  15. hehe.. nimbrung aaaaaaaaaah..
    pak krupuk kulit,
    Kejaksaan menangani perkara 500 perkara korupsi pertahun? Hebatkah????? jawabannya ABSOLUTELLY NOT. hehe.. itung aja jumlah Kejati se Indonesia ada 33. Kejari 475an. Kejaksaan Negeri cabang sekitar 40an. itungan total sekitar 550an. Nah, kalo setahun cuma 500 perkara korupsi. Hehehe.. so, kalo dirata rata, dalam setahun, satu instansi hanya nangani 1 Kasus. Masak iya sih korupsi di negeri kita ini cuma segitu aja. Faktanya, ada begitu buanyak kasus yana kalo diendapkan, ato digantung, ato di perlambat penanganannya ato tersangkanya/ saksi -saksinya dijadikan ATM berjalan oleh Jaksa-jaksa brengsek itu. (saya ini bukan hanya mata-mata hakim brengsek, tapi juga mata-mata jaksa brengsek, polisi brengsek dan orang-orang LSM brengsek yang ikut-ikutan meras meras kesana-sini)..

    soal supir nabrak orang trus ditahan, ya kan nggak salah juga to kalo ditahan. lha wong nantinya kalo dinyatakan bersalah oleh hakim, entah terbukti sengaja ato karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain meninggal, kan juga akan dihukum to?. nah, masa penahanan itu kan juga dihitung. hehe..

    soal nabrak orang, temenku deket, sahabatku tepatnya juga pernah nabrak orang yang lagi jalan. temenku itu pas mabuk (jelas salah to?? di AS misalnya, mengendarai sambil mabuk dapat kena hukuman karena berpotensi mencelakai orang lain -contoh kasus paris hilton/ naomy campbell/ suami sarah palin. itu aja belum nabrak lo. APALAGI KALO NABRAK oi..). nah, karena dia punya duit, ya dia bayar dooooooooooong. trus nggak ditahan. sama polisi, kasus mau dilanjutkan. Trus dia bayar lagi.. hehe.. artinya kemungkinan itu selalu ada pak. so, jangan hanya ngliat positifnya. Kalo dipuji terus, ya nggak bakal berubah. Dengan adanya kriitik, aparat akan lebih hati-hati. (minimal akan takut memeras ato korupsi terang-terangan. wekekeke)..

    salam hangat
    mata-mata hakim brengsek, jaksa brengsek, polisi brengsek, aktifiv LSM brengsek, dan masyarakat brengsek.

  16. …kita (semua) tau pol–(sori, gue sensor, ada UU ITE, tar gue ditahan lagi) suka memeras tersangka dengan kewenangan penahahannnya
    …kita tau pol–suka memeras tersangka untuk mempercepat atau memperlambat perkara, terlebih ketika tersangka ditahan
    …kita tau J—(sensor juga) melakukan hal yang sama dengan kewenangan yang sama tersebut
    …kita juga tau kontrol atas kewenangan penahanan tersebut saat ini lemah (kalo ga bisa dibilang ga ada)
    …kita tau jika penyiksaan sering terjadi terhadap tahanan
    …kita tau jika pemerasan merupakan salah satu bentuk korupsi
    …kita tau jika sering terjadi salah tangkap

    …dan kita terus dorong agar setiap tersangka ditahan.

    berapa jumlah kasus korupsi yang sebenarnya terjadi di negeri ini? 500 kah? tentu tidak. Berapa jumlah sebenarnya? wallahu alam. sepertinya minimal sebesar jumlah kasus pidana yang bisa dikenakan penahanan.

    Setiap kali kita mendorong agar pengadilan menghukum setiap terdakwa dalam suatu jenis perkara, maka setiap kali itu pula kita telah memperbesar kewenangan p—& J–. Setiap kali kita memperbesar kewenangan 2 institusi tersebut maka semakin besar potensi penyalahgunaannnya. abuse of power is the core of corruption bung.

    Kalau gue tiba-tiba dituduh korupsi sama polisi atau jaksa, dan gue tau bahwa di luar sana masyarakat menilai bahwa setiap tersangka atau terdakwa sudah pasti salah maka apa yang akan terjadi? Sekuat tenaga gue akan melakukan upaya agar gue tidak dijadikan tersangka. langkah-langkah non-koruptif akan percuma gue lakukan. apakah sebenarnya gue melakukan korupsi atau tidak tak lagi penting, segala macam pembuktian tak ada artinya, karena bagaimana pun juga gue akan tetap dinilai sebagai koruptor.

    …”ya makanya jangan korupsi!”

    salam

  17. makanya…
    jangan nyogok polisi……kebuntuan hukum tetap tidak bisa jadi alasan buat nyogok atau nyuap toh….
    :p

    untuk memerangi setan korupsi…
    TAHAN SEMUA TERSANGKA kasus korupsi!!!

    ada hak asasi manusia yang jauh lebih luas yang harus dilindungi dari tindakan koruptif dan bahkan potensi tindakan koruptif…..

    beberapa slogan sepertinya harus diperbaiki……

    JANGAN KORUPSI !!!

    diganti

    JANGAN “DEKATI” KORUPSI !!!!

  18. SETUJUUUUUUU!!!!

    …tapi kalo dekati tersangka korupsi boleh ga feb? kalo ga boleh kasian teman kita yang jadi lawyer dong…hehehehe

    hehe2…..kebetulan di ICW kita menundukan diri dalam klausul kode etik…”Tidak melindungi, membela kasus korupsi”
    tapi, aku ga bisa jawab, kalau pak Arsil nanya, bagaimana dengan salah satu dewan etik yang saat ini jadi pengacara kasus korupsi??? hehehe2

    tapi, kita sudah sering “ditelikung” seperti itu…..

  19. anggota dewan etik icw itu juga anggota dewan pembina leip lho, krhn juga,
    tapi karena yang diperjuangkan leip itu independensi peradilan, jadi kayaknya ga ada isu tuh di leip. hehehe.

    …oo gt ya…tp kode etik berlaku g ya untuk dewan etik? hehehe2…

  20. …apakah semudah itu menilai orang? bukan pilihan yang mudah bung bagi anggota dewan etik loe ketika dia memutuskan untuk menangani kasus korupsi pertamanya.
    memang mudah memilih diantara pilihan baik dan buruk, hitam atau putih. tapi ketika pilihan yang ada hanyalah pilihan yang sama-sama buruk…antara reputasi dengan keyakinannya?
    …ternyata dia telah memilih yang kedua. dan gue salut sama dia untuk ituapakah ternyata yang diyakininya itu salah , tak lagi menjadi soal….
    …apakah kode etik berlaku bagi anggota dewan etik? …menurut gue, abang kita yang satu itu telah menunjukan apa itu nilai-nilai etika yang sebenarnya.

    salam

    “hehehe2…frase “kasus korupsi pertamanya”…..ku pikir menarik…..
    sederhana saja, soal pilihan itu hak mendasar beliau…dak pa2..dan dan ada yang bisa larang.
    tapi, beliau kan juga harus tahu dan paham tentu saja dengan salah satu klausul dalam kode etik…yang tentu harus dihormati secera utuh. tidak sepenggal.

    Aku sih tidak berwenang sedikit pun untuk mencap atau pun menilai, pak..
    tapi itulah faktanya…
    kalaupun suatu kali (jika aku masih di icw –sebagai apapun) dan aku membela kasus korupsi,
    tentu itu pilihan ku.
    dan ku kira konsekuensi dari pilihan itu, aku harus mundur dan memilih salah satu.
    kasus korupsi,
    atau
    icw..
    sederhana saja toh 🙂

    tapi, aku menghormati beliau secara pribadi.
    benar seperti yang kau bilang, pak…
    ini soal pilihan.
    mungkin dia sudah memilih.

Leave a reply to krupukulit Cancel reply